METRUM.ID – Sumpah Pemuda menjadi tonggak penting sejarah lahirnya semangat persatuan. Sembilan puluh tujuh tahun silam, para pemuda dari berbagai daerah berkumpul dan berikrar: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa (Indonesia). Ikrar itu bukan sekadar seruan politik, melainkan pernyataan tekad generasi muda untuk membangun cita-cita bersama. Kini, nilai-nilai itu kembali dihidupi oleh anak-anak dan komunitas di Nusa Tenggara Timur (NTT) melalui kegiatan literasi dan seni yang tumbuh dari akar masyarakat.
Semangat tersebut tergambar dalam Panggung Kreasi Rumah Literasi Cakrawala NTT, Sabtu (25/10/2025), di Desa Noelbaki, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang. Kegiatan ini menjadi wadah bagi anak-anak untuk menampilkan bakat mereka lewat paduan suara, pembacaan puisi, pidato, dan fashion show. Sementara itu, komunitas Mendi Project turut memberikan dukungan lewat monolog dan musikalisasi puisi, menambah warna pada panggung malam itu.
Salah satu penampilan yang menyita perhatian adalah teater monolog “Jeritan Malam” yang dibawakan oleh Mendi Project. Teater Monolog ini mengangkat isu kekerasan terhadap perempuan dan anak isu yang semakin sering muncul dalam diskursus publik di NTT. Berdasarkan data yang diperoleh dari UPTD PPA Provinsi NTT, jumlah kasus meningkat dari 140 kasus pada tahun 2020 menjadi 398 kasus pada 2024, dan hingga Mei 2025 telah tercatat 241 kasus. Melalui karya teater ini, komunitas tersebut mengajak masyarakat untuk lebih peduli dan berperan aktif dalam perlindungan anak dan perempuan.
Selain Teater monolog, Mendi Project juga menampilkan musikalisasi puisi berjudul “Masa Gelap”. Puisi ini lahir dari keresahan terhadap situasi sosial dan politik di negeri ini, khususnya pasca demonstrasi 25 Agustus 2025, dimana sejumlah mahasiswa dan masyarakat sipil menjadi korban.
Musikalisasi itu menggambarkan pergulatan batin dan kegelapan yang menyelimuti bangsa saat keadilan diperjuangkan dengan pengorbanan nyawa. Di atas panggung, suara lirih dan denting gitar berpadu membentuk suasana sendu yang menggugah emosi penonton.
“Puisi ‘Masa Gelap’ kami hadirkan sebagai bentuk refleksi atas keadaan bangsa. Bahwa perjuangan dan suara rakyat tidak boleh padam meski di tengah duka,” ungkap salah Dewi Sartika sebagai satu anggota Mendi Project usai pementasan.
Founder Mendi Project, Enji Juna, menegaskan bahwa kegiatan semacam ini memberi ruang penting bagi anak-anak dan masyarakat untuk mengekspresikan diri secara kritis dan kreatif.
“Kami melihat bahwa Rumah Literasi Cakrawala NTT telah membuka ruang bagi anak-anak untuk berkembang, tidak hanya belajar membaca, menulis, dan berhitung, tetapi juga melatih mereka mengeksplorasi kemampuan diri melalui penampilan di atas panggung,” ujarnya.
Ia menambahkan, kegiatan Panggung Kreasi sangat memberi dampak positif karena anak-anak dilatih mengekspresikan potensi dan keberanian mereka di depan publik, sekaligus menumbuhkan kesadaran sosial melalui seni.
Acara tersebut juga dihadiri oleh pemerintah desa, pihak GMIT, serta tokoh masyarakat setempat yang memberikan dukungan penuh terhadap kegiatan anak-anak di Rumah Literasi Cakrawala NTT. Dalam sambutannya, Direktur Rumah Literasi Cakrawala NTT, Gusty Rikarno, menyampaikan apresiasi kepada para relawan yang telah mendedikasikan waktu dan tenaga untuk mendampingi anak-anak belajar dan berkreasi.
“Kami menyampaikan terima kasih kepada mama-mama dan bapak-bapak yang telah mendermakan waktu dan pikirannya bersama satu gerakan semesta untuk menelusuri jalan seni dan literasi. Kami membuka ruang bagi siapa pun yang ingin terlibat, dua jam saja setiap akhir pekan bersama anak-anak,” ujar Gusty.
Momentum kegiatan itu juga dimanfaatkan untuk menandatangani nota kesepahaman (MoU) antara Rumah Literasi Cakrawala NTT, Komunitas Belajar Mengajar (KBM) Universitas Muhammadiyah Kupang, dan Mendi Project. Kolaborasi ini diharapkan memperkuat pendampingan anak-anak dalam bidang literasi, numerasi, serta pengembangan karakter melalui seni dan edukasi berbasis komunitas.
Ketua Komunitas Belajar Mengajar (KBM), Yeremia A. Hiyetingkai, menjelaskan bahwa komunitasnya merupakan wadah mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Kupang yang berkomitmen menyiapkan calon guru profesional melalui kegiatan pengabdian di masyarakat.
“Komunitas Belajar Mengajar ini didirikan oleh dosen kami, sejak tahun 2018. Awalnya bernama komunitas biologi, kemudian berkembang menjadi wadah lintas program studi. Tujuannya melatih kami sebagai calon guru agar siap mengajar dan berkontribusi langsung di tengah masyarakat,” ujarnya.
Yeremia menambahkan, melalui kerja sama dengan Rumah Literasi Cakrawala NTT, KBM akan rutin mengadakan kegiatan belajar setiap akhir pekan untuk meningkatkan kemampuan membaca, berhitung, dan memahami teks bagi anak-anak.
“Kami berharap kehadiran kami bisa membantu anak-anak di desa agar berkembang dan memiliki kesempatan belajar yang sama dengan teman-teman mereka di kota,” katanya.
Rumah Literasi Cakrawala NTT sendiri merupakan bagian dari Yayasan Media Cakrawala NTT, lembaga yang sejak 2016 berfokus pada penguatan budaya membaca dan menulis bagi guru, mahasiswa, dan masyarakat. Salah satu program unggulannya adalah “Sampahmu Tiket Baca”, konsep di mana anak-anak dapat membaca buku dengan menukar sampah anorganik seperti botol plastik atau kaleng. Program ini mengajarkan pentingnya kebersihan lingkungan sekaligus menumbuhkan minat baca sejak dini.
Melalui kolaborasi berbagai komunitas, kegiatan ini tidak sekadar menampilkan kreativitas, tetapi juga menegaskan bahwa semangat Sumpah Pemuda masih hidup dan terus berdenyut di setiap langkah anak-anak NTT. Di panggung sederhana itu, literasi, seni, dan kepedulian sosial berpadu menjadi wujud nyata cinta pada tanah air.












