Oleh : Sajak Lama
Di bawah langit kota karang,
sesuatu jatuh
bukan sekadar benda,
melainkan pertanda
bahwa takdir sedang bermain dengan hati kita.
Bola mata itu menggelinding,
membawa serta warna yang tenang,
warna yang kautawarkan padaku
dan kini berani kupandang lama
karena aku tahu,
ketenangan itu adalah rumah bagiku.
Waktu, sang dalang bijaksana,
dulu belum mengizinkan jemari kita bersentuhan.
Ia sibuk merajut takdir di benang-benang langit,
menyiapkan momen yang sempurna,
agar pertemuan kita bukan kebetulan,
melainkan keniscayaan.
Lalu datanglah ia—waktu yang tepat, membawa pertemuan dalam bingkai keajaiban: bukan hanya untuk saling tahu, tapi untuk saling memiliki, untuk membuktikan bahwa di dunia ini, jiwa sepertimu diciptakan untuk jiwa sepertiku.
Perkenalan yang dulu singkat
kini menjadi cerita panjang yang kita tulis bersama.
Angin yang dulu hanya singgah sebentar,
kini menetap menjadi rumah.
Aku berjuang sendiri dulu,
meniti jalan berliku
hingga ke penghujung bulan ketujuh
di lembaran tahun dua ribu dua puluh lima.
Dan di sana, dalam proses pencarian yang singkat
namun padat makna,
takdir menyatukan kita.
Bukan lagi sebagai dua jiwa yang terpisah,
bukan lagi sebagai pencari yang kesepian,
melainkan sebagai sepasang jiwa
yang akhirnya menemukan pelabuhan.
Aku sempat berpikir: ini mustahil.
Karena selisih jiwa kita tampak jauh
bukan jarak yang bisa diukur dengan langkah,
tapi celah yang tercipta dari perbedaan latar.
Tidak terlalu jauh hingga tak terlihat,
namun dulu terasa cukup jauh hingga menakutkan.
Tapi ternyata,
keinginan yang kuat dalam pencarian saya
mampu menjembatani setiap jurang perbedaan.
Cinta kita sampai pada titik “semoga”
kata yang paling sering kuucapkan, kata yang paling sering diaminkan, dan kini, kata yang dikabulkan oleh langit.