HUKUM

LMND Kupang Gelar Unjuk Rasa, Desak Polda Tindak Cepat Kasus Kekerasan Seksual

×

LMND Kupang Gelar Unjuk Rasa, Desak Polda Tindak Cepat Kasus Kekerasan Seksual

Sebarkan artikel ini
Massa aksi sedang berunjuk rasa di depan Mapolda NTT. Foto diambil pada 30 Januari 2025. (Dokumentasi metrum.id)

METRUM.IDMerambah maraknya kasus kekerasan seksual di Kupang, Ibu Kota Provinsi NTT, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi [LMND] Cabang Kupang, sebuah organisasi pergerakan kemahasiswaan, menggelar unjuk rasa, bagian dari bentuk protes terhadap penanganan kasus yang dinilai lamban ditangani Polresta Kupang Kota.

Berlangsung di depan Markas Kepolisian Daerah [Mapolda] NTT pada 30 Januari 2025, barisan massa aksi mengusung tajuk “Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, Mendesak Kapolda NTT Segera Intervensi Polresta Kupang Kota untuk menyelesaikan kasus-kasus asusila di NTT.”

Kepada Metrum.id, Meki Maubanu, Koordinator Aksi berkata, tujuan dilakukannya aksi itu “untuk mendesak Kapolda NTT agar mengintervensi Kapolresta Kupang Kota.”

Intervensi itu, kata dia, bertujuan untuk “mendesak Polresta Kupang Kota dalam menyelesaikan kasus-kasus asusila di NTT.”

‘Perempuan Tak Pantas Dilecehkan’

Dalam orasi yang bergaung, bersemuka dengan barisan aparat berseragam lengkap, Anisa, salah satu orator perempuan tak bergeming mengkritik.

“Sebagaimana peristiwa yang menimpa kaum kami, [saya mewakili] hak kami sebagai perempuan akan memperjuangkannya,” serunya menggelegar.

Anisa menyebut, keberadaan demokrasi kian tergerus sekalipun Presiden telah berganti.

Pada era rezim Prabowo, katanya, “kematian demokrasi semakin terlihat,” seiring tidak adanya perlindungan fundamental dari Negara terhadap kaum perempuan.

Alih-alih “menempatkan perempuan sebagai makhluk pencipta peradaban,” Negara ingkar dengan “cara memperlakukan perempuan sebagai kaum terbelakang.”

Selain itu, ia juga mencontohkan bagaimana Negara kerap mengabaikan eksistensi perempuan dalam politik parlemen “yang hanya memberikan hak politik 30%.”

Ketidakberpihakan Negara terhadap perempuan “menunjukan bahwa Negara melegalkan kriminalitas terhadap perempuan.”

Merujuk catatan hasil pendataan statistik tahunan Komnas Perempuan, 24.529 kasus kekerasan seksual terjadi sepanjang tahun 2018 hingga 2023. Diantara kasus tersebut, 23% atau sebesar 5.654 kasus merupakan kasus perkosaan.

Soroti Kinerja Kepolisian

Sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat, kata Anisa, peran kepolisian dipertanyakan dalam penanganan kasus kekerasan seksual.

“Sikap tidak responsif atau non kooperatif dari pihak kepolisian seringkali membuat kasus kekerasan seksual dan KDRT berujung tak diselesaikan secara tegas,” katanya.

Ia menyebut “hal ini bukan [fenomena] baru [yang terjadi] dalam institusi kepolisian.”

Hal ini menurutnya beralasan “dikarenakan pihak kepolisian hari ini semakin koruptif menggunakan jabatan dan wewenangnya.”

Seirama, kritikan ini muncul dari bergulirnya kasus pelecehan yang dialami seorang perempuan di Kota Kupang oleh sopir rental jurusan Kupang menuju So’e – Ibu Kota Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Tak berselang lama, kasus itu segera dilaporkan ke Polresta Kupang Kota pada 12 Januari 2025.

Laporan itu tertuang dalam surat bernomor LP/B/44/1/2025.

Kendati tak memerinci kronologi kejadian, Anisa menyebut “kasus ini belum juga menemui titik temu,” dikarenakan “korban dan pelaku belum juga dipanggil untuk dimintai keterangan.”

Bukannya ditindaklanjuti, katanya, korban malah dibebankan oleh penyelidik untuk “disuruh mencari saksi,” sekalipun visum telah dilakukan.

Ia berharap, pihak kepolisian segera “bertindak cepat dan tegas dalam menangani kasus-kasus serupa,” juga mengajak “seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama melawan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.”

“Kami akan terus mengawal kasus ini dan memastikan bahwa keadilan bagi korban dapat ditegakan,” tambahnya.