Geothermal: Warga Poco Leok dan Narasi Ramah Lingkungan

Pontensi Panas Bumi Poco Leok

Oleh. Evan Latu

“Jangan Kau Penjarakan Ucapanmu
Jika Kau Menghamba Pada Ketakutan
Kita Akan Memperpanjang Barisan Perbudakan, LAWAN !

-WIJI THUKUL-

Saya seorang mahasiswa yang sedang menuntut pendindikan tinggi di salah satu universitas-kota malang. Banyak orang yang mengeritik saya karena saya yang berfakultas pertanian berbicara tentang isu sosial yang melanda negeri ini atau daerah tertentu.

Sebagai mahasiswa, tugas saya adalah menganalis dan membela hak-hak masyarakat yang dihakimi, ditindas dan di perlakukan selayaknya bukan manusia. Kali ini saya akan mengulas secara singkat masyarakat poco leok yang mendapatkan kriminalisasi oleh aparat keamanan saat mencoba menghadang dan menolak Proyek Strategis Nasional (PSN) yang bernama Geothermal.

Secara umum, jumlah penduduk kabupaten Manggarai tahun 2023 sebanyak 328,755 jiwa (BPS Kabupaten Manggarai; jumlah penduduk). Sebagian jumlah tersebut bekerja di sektor pertanian dan bekerja sebagai petani sudah menjadi pekerjaan turun temurun yang sampai saat ini masih di pertahankan. Hasil pertanian merupakan salah satu urat nadi perekonomian masyarakat manggarai dan sangat bersyukur dari apa yang mereka dapat dari hasil alam atau pertanian.

Manggarai di kenal dengan banyaknya budaya atau adat yang setiap pelaksanaannya membutuhkan dana dan salah satu faktor penunjang untuk mendapatkannya adalah dari hasil alam atau hasil pertanian. Dilansir dari Pemerintah Kabupaten Manggarai (2019) mengatakan Kabupaten Manggarai dalam angka tahun 2018 menunjukan dari total 120.338 orang angkatan kerja di kabupaten Manggarai,sebanyak 47,76 % bekerja di sektor pertanian.

Menurut saya, dari banyaknya jumlah angkatan kerja tersebut sebagian berasal dari warga sekitaran poco leok. Desa Langar, Mocok dan Golo Muntas dengan belasan kampung adat bermukiman dekat poco leok. Namun, aktivitas pertanian mereka terancam dengan akan hadirnya Proyek Strategis Nasional yang bernama Geothermal.

UU No 21/2014 Tentang Panas Bumi mengatakan, panas bumi merupakan sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, serta batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem Panas Bumi. Geothermal termasuk dalam sumber daya alam terbaru yang mempunyai peran penting untuk menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Tahun 2017, flores ditetapkan sebagai pulau panas bumi melalui SK Menteri ESDM Nomor 2268 K/ 30/MEM/2017. Pulau Flores sejak di keluarkan SK tersebut mengalami pembelanjaan serentak 16 titik yang akan ditargetkan lokasi proyek geothrmal. 16 titik tersebut yakni Ulumbu, Wae Sano, Wai Pesi, Gou-Inelika, Mengeruda, Mataloko, Komandaru, Oka Ile Ange, Sokoria, Jopu, lesugolo, Atedai, Roma-Ujelewung, Ndetusoko, Oyang Barang, dan Bukapiting.

Pertambangan Geothermal yang sudah mulai beroperasi sejak dulu yakni PLTP Ulumbu (Manggarai), PLTP Mataloko (Ngada) dan PLTP Sokoria (Ende) sedangkan yang lainnya masih dalam proses perencanaan pembangunan. Seiring berjalannya waktu, PLTP Ulumbu seakan menganakkaan proyeknya ke daerah poco leok yang jaraknya kisaran 3-5 km.

Menilai positif dan negatifnya suatu proyek geothermal, sebaiknya kita melihat daerah yang sudah beroperasi proyek geothermal di Indonesia. Salah satunya adalah PLTP Mataloko yang sudah beroperasi sejak lama dan mengalami kegagalan sampai saat ini.

Media Floresa dalam tulisan yang bertajuk; Warga Mataloko, Flores Terus Tersengat Panas Bumi: Proyek Dilanjutkan Usai Gagal Berulang dan Timbul Bencana Lingkungan, mengatakan sejak adanya geothermal di Mataloko, banyak lahan warga sekitar yang rusak dan penyakit gatal-gatal pada warga sekitar akibat aktivitas tambang geothermal tersebut.

Selain kerusakan lahan dan wabah penyakit, aktivitas geothermal juga merusak seng atap rumah tempat tinggal warga setempat menjadi hancur. Begitu tragisnya dampak dari aktivitas tambang geothermal tersebut dan kemungkinan besar akan membawa dampak negatif yang lebih menakutkan lagi kedepannya.

Dampak dari kerusakan tanah yang berlubang mengakibatkan unsur kesuburan dan kesehatan tanah akan menurun, yang dimana salah satu corak produksi dan pendapatan warga sekitar adalah dari pertanian atau tanah tersebut. Entah bagaiman keadaan warga sekitar kedepannya yang dimana proyek geothermal di mataloko akan terus berlanjut sampai cita-cita perusahaan tercapai dengan dalih dan juga narasi yang dilontarkan bahwa Geothermal ramah lingkungan.

Melihat dampak yang menimpa warga sekitar PLTP Mataloko sudah mengatakan bahwa aktivitas penambangan Geothermal sudah tidak ramah dengan lingkungan. Entah ramah lingkungan apa yang dimaksudkan oleh perusahaan jika hasilnya demikian?. Belakangan ini media yang saya gunakan di hebohkan oleh perjuangan masyarakat poco leok yang menghadang dan menolak akan adanya aktivitas penambangan yang benama Geothermal.

Poco leok yang terdiri tiga desa dan belasan kampung adat diperhadapkan dengan diadakan proyek geothermal. Mereka berkali-kali melakukan aksi protes untuk menolak proyek geothermal baik di depan kantor bupati maupun di titik panas bumi.

Hadirnya aktivitas penambangan geothermal di poco leok selain merusak ekologi dan mengganggu kesehatan adalah akan berdampak pada kurangnya lahan pertanian atau tanah bagi penerus kedepannya dan berpotensi pada pencemaran air bersih yang berdampak pada krisis air seperti yang terjadi di Mataloko Kabupaten Ngada.

Warga poco leok sudah menyatakan sikap yang sempurna menolak aktivitas tambang geothermal sebelum dampaknya terkena pada warga sekitar yang akan sangat merugikan di sektor ekonomi, ekologi, kesehatan dan bahaya-bahaya lainnya yang kita tidak ketahui kedepannya. Tanah poco leok harus tetap terlindungi dari aktivitas penambangan untuk menunjang keseimbangan dalam berbagai sektor, lebih pentingnya sektor pertanian yang salah satu sumber pendapatan mereka. Mungkin ini sudah terpikirkan oleh berbagai kalangan, bahwa aktivitas pengadaan geothermal walaupun itu adalah Proyek Strategis Nasional merupakan upaya untuk merusak ekologi, mengganggu aktivitas warga, kesehatan dan terjadinya penambahan konflik agraria.

Warga poco leok berusaha menghalangi aparat gabungan dari TNI, POLISI dan SATPOL PP yang berusaha menuju lokasi penambangan. Warga yang melakukan penghalangan malah mendapat tindakan brutalitas oleh aparat itu sendiri bahkan ada yang dilarikan ke puskesmas terdekat. Kehadiran aparat seharusnya menjadi penengah disaat ada konflik, bukannya melakukan kekerasan pada masyarakat poco leok yang berusaha memperjuangkan hak hidupnya malah menambah konflik. Saya secara individu menyatakan bahwa aparat keamanan dibalik tragedi brutalitas pada masyarakat poco leok yang sebenarnya melindungi rakyat sudah tidak relevan lagi, aparatseharusnya melindungi rakyat.

Narasi yang dilontarkan ke publik mengatakan Geothermal ramah lingkungan dan Geothermal adalah upaya untuk menunjang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat (public walfare). Kesejahteraan yang mana jika yang terjadi di lapangan adalah konflik ataupun brutalitas aparat keamanan terhadap masyarakat?. Negara harus melindungi masyarakat adat yang memperjuangkan hak mereka demi keselamatan hidup yang akan datang.***