KOLOM

Beribadah di Tanah Sendiri, Tapi Takut Mati

×

Beribadah di Tanah Sendiri, Tapi Takut Mati

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi: Metrum.id/Marianus
Ilustrasi: Metrum.id/Marianus

Oleh : Marianus Dewalking

METRUM.ID – Saya menulis ini bukan untuk membakar amarah, tapi untuk mewakili jeritan yang tak terdengar—jeritan dari umat kecil yang hanya menginginkan satu hal: beribadah dengan tenang.

Minggu pagi biasanya menjadi waktu yang kami nanti. Lagu pujian mengalun, tangan-tangan terangkat dalam syukur, dan anak-anak kecil duduk mengatupkan tangan sambil menggambar Yesus dalam benak dan nurani mereka. Tapi belakangan, rasa aman itu seperti mimpi yang perlahan dirampas.

Teranyar, baru-baru ini, ada sebuah insiden yang cukup menyayat hati. Sebuah rumah doa di salah satu daerah dirusak dan umat dibubarkan secara paksa oleh sekelompok warga. Jemaat yang sedang mengumandangkan pujian diusir dan dihentikan secara paksa. Dua orang anak kecil terluka. Tangisnya membuat semua doa di ruangan itu runtuh seketika. Hanya bisa diam. Dan dari diam itu, kami tahu: kami sendirian.

Keresahan ini bukan berdasar pada satu peristiwa saja. Ini adalah akumulasi dari luka-luka kecil yang tak pernah sembuh. Tahun 2023, menurut data dari SETARA Institute, ada 217 kasus pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB). Di antara itu, mayoritas menimpa umat Kristiani, baik Protestan maupun Katolik. Dan dalam laporan yang sama, disebutkan bahwa ada 65 gangguan terhadap rumah ibadah—40 di antaranya adalah gereja.

Bayangkan, tempat kami bersujud kepada Tuhan justru menjadi tempat paling rentan diserang. Rumah yang seharusnya penuh damai malah dilempari, dihancurkan, diintimidasi. Dan apa respons negara? Seringkali hanya pernyataan simpatik. Tak ada perlindungan nyata. Tak ada proses hukum tegas. Pelaku tetap bebas, karena apa? karena mereka lahir dengan label “mayoritas”.

Padahal kita hidup di negara yang katanya berasaskan Pancasila. Di mana sila pertamanya adalah “Ketuhanan yang Maha Esa”. Tapi mengapa ketuhanan itu hanya milik segelintir golongan? Mengapa rumah doa kami dianggap asing, seolah kami sedang menyusun makar?

Ironisnya, dalam beberapa kasus, pelakunya bukan hanya warga. Ada kasus di mana pemerintah daerah, lewat aturan lokal, menolak izin pendirian gereja tanpa dasar hukum jelas. Ada pula aparat yang bukannya melindungi, malah menyarankan “demi ketenangan bersama, sebaiknya ibadah dilakukan diam-diam”. Sejak kapan doa kepada Tuhan harus sembunyi-sembunyi di tanah sendiri?

Saya ingin bertanya dengan jujur: di mana peran negara? Bukankah konstitusi menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk dan menjalankan ibadah menurut agamanya? Apakah pasal itu hanya berlaku untuk kelompok mayoritas?

Kalau negara terus abai, kalau hukum tetap tumpul ke pelaku intoleransi, maka kita sebenarnya sedang menyemai benih kehancuran bangsa. Kita mengkhianati cita-cita Indonesia sebagai rumah bersama.

Kita harus jujur mengakui bahwa toleransi kita sedang runtuh. Kita terlalu lama memaafkan pelaku, terlalu lama menormalkan kekerasan atas nama agama. Dan ketika kekerasan itu dibiarkan, ia akan tumbuh. Dari batu yang dilempar, menjadi rumah ibadah yang dibakar. Dari pengusiran, menjadi pembunuhan. Sejarah sudah membuktikan itu.

Saya tidak sedang menyulut kebencian. Saya hanya ingin didengar. Kami, umat kristiani, ingin hidup dalam damai. Kami tidak ingin lebih—kami hanya ingin setara. Kami ingin bisa menyanyikan lagu pujian tanpa dihentikan paksa, kami ingin adik kakak kami mengenal kasih, bukan trauma.

Kami bukan musuh, kami adalah saudara sebangsa kalian. Kita lahir dari tanah yang sama, menghirup udara yang sama, mencintai Indonesia dengan tulus yang sama. Tapi jika negara terus diam, maka luka kami akan terus menganga. Dan luka yang dibiarkan, lambat laun akan bernanah.

Negara harus hadir. Negara harus melindungi. Negara harus membuktikan bahwa keadilan bukan hanya milik golongan terbanyak, tetapi hak bagi setiap warga. Tanpa itu, maka “Indonesia adalah rumah bersama” hanyalah slogan kosong.

Saya menulis ini bukan untuk menciptakan jurang. Saya menulis karena saya tahu, ada banyak dari kalian yang peduli. Tapi suara kami terlalu kecil untuk didengar sendiri. Maka hari ini, saya mohon: bantu dengungkan. Jangan tunggu sampai gereja terakhir dibakar, sampai anak terakhir menangis, sebelum kalian sadar—bahwa kita sudah kehilangan akal sehat dan nurani.

Dari kami yang tersisihkan, tapi tak pernah berhenti berharap—bahwa negeri ini masih menyimpan ruang untuk kasih dan keadilan. Untuk Bapak Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto, tolong sediakan telinga bapak semenit saja untuk mendengarkan suara kecil dari sudut-sudut gereja yang terdiskriminasi. Suara dari rumah-rumah ibadah yang terkunci, dari anak-anak yang menangis karena trauma, dari minoritas yang hanya ingin hidup setara dan damai. Bapak pernah berkata ingin menjaga seluruh rakyat Indonesia—maka lindungilah kami juga, yang meski kecil jumlahnya, tapi tetap menjadi bagian utuh dari Ibu Pertiwi.