REGIONALWARTA

Dinilai Anti Kritik dalam Polemik Relokasi Pulau Kera, Aktivis dan Akademisi Soroti Gaya Kepemimpinan Bupati Kupang yang Intimidatif

×

Dinilai Anti Kritik dalam Polemik Relokasi Pulau Kera, Aktivis dan Akademisi Soroti Gaya Kepemimpinan Bupati Kupang yang Intimidatif

Sebarkan artikel ini
Dialog kebangsaan yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Nusa Cendana dan Gerakan Mahasiswa Flobamora di aula rektorat Undana Kupang pada Kamis, (24/04/2025). Dalam diskusi ini, para aktivis dan akademisi menyoroti isu-isu penting daerah termasuk polemik relokasi Pulau Kera. Foto: BEM Undana Kupang.
Dialog kebangsaan yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Nusa Cendana dan Gerakan Mahasiswa Flobamora di aula rektorat Undana Kupang pada Kamis, (24/04/2025). Dalam diskusi ini, para aktivis dan akademisi menyoroti isu-isu penting daerah termasuk polemik relokasi Pulau Kera. Foto: BEM Undana Kupang.

Menindaklanjuti hasil dialog itu, para peserta yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Flobamora akan melayangkan petisi, guna membenahi pola komunikasi dan kebijakan Pemerintah

METRUM.IDDalam dialog kebangsaan yang digelar baru-baru ini, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang bersama Gerakan Mahasiswa Flobamora (GMF) menyoroti sikap Bupati Kupang, Yosef Lede, yang dinilai anti kritik.

Diskusi yang berlangsung pada Kamis, 24 April 2025, di aula rektorat Undana ini melibatkan 25 organisasi kepemudaan dan organisasi mahasiswa.

Mengangkat tema “Menerawang Masa Depan Indonesia, Dari Perspektif Aktivis Muda di NTT,” mereka membahas berbagai isu kedaerahan di Kabupaten Kupang, dengan Pulau Kera sebagai salah satu fokus utama.

Para peserta menyoroti polemik relokasi warga Pulau Kera yang dilakukan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat secara memadai. Mereka menilai pemerintah daerah gagal membangun komunikasi publik yang sehat dan menutup diri dari kritik.

Pemimpin Arogan, Dialog Terputus

Yohanes Jimi Nami, Pengamat Politik Undana, menegaskan bahwa pejabat publik wajib menerima kritik sebagai bagian dari proses perbaikan. “Jika seorang pemimpin anti kritik, itu artinya dia tidak siap untuk berkembang. Kita perlu pemimpin yang mendengarkan suara masyarakat,” katanya.

Ketua GMF, Melianus Alopada, juga menyoroti sikap Bupati Kupang yang ia nilai arogan dan berpotensi merusak hubungan antara pemerintah dan warga.

Ia menilai pendekatan pemerintah dalam menyosialisasikan rencana pembangunan di Pulau Kera tidak humanis dan mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

“Masyarakat Pulau Kera juga warga negara Indonesia yang berhak dihargai. Pemerintah daerah harus menggunakan pendekatan yang lebih persuasif, bukan intimidatif,” tegas Melianus.

Ia juga mengkritik cara Bupati Kupang hadir di Pulau Kera. Menurutnya, Bupati datang sebagai representasi pemerintah daerah, bukan sebagai pribadi. Namun, cara penyampaiannya justru bersifat intimidatif dan bisa menimbulkan dampak psikologis negatif bagi warga.

“Kunjungan seorang pemimpin seharusnya membawa kehormatan bagi warga. Tapi jika datang dengan sikap arogan, warga bisa merasa dihina,” ujarnya.

Petisi untuk Bupati

Menindaklanjuti hasil dialog tersebut, GMF menyusun petisi yang akan mereka sampaikan kepada Gubernur NTT dan Ombudsman.

“Kami akan meminta agar pemerintah Kabupaten Kupang mengevaluasi pola komunikasi publik dan kebijakannya. Kami menolak pemerintahan yang arogan dan anti kritik,” tegas Melianus.

Diskusi itu juga menyoroti kebijakan efisiensi anggaran daerah. Melianus mengungkapkan kekhawatirannya terhadap pengelolaan anggaran yang tidak sejalan dengan instruksi pemerintah pusat.

“Beberapa kepala daerah cenderung mengabaikan aturan dan lebih mengutamakan kedekatan politik. Akibatnya, pengelolaan anggaran jadi tidak efisien,” katanya.

GMF berencana membawa petisi tersebut ke Pemerintah Provinsi NTT dan DPRD NTT dalam waktu dekat. Mereka ingin mendorong evaluasi menyeluruh terhadap kinerja pemerintah daerah dan membangun pola komunikasi yang lebih terbuka serta transparan.