KOLOM

Jejak Masa Lalu yang Pintunya Kerap Lupa Dikunci

×

Jejak Masa Lalu yang Pintunya Kerap Lupa Dikunci

Sebarkan artikel ini
manusia lemah sekali jika disapa oleh cinta yang pernah // ilustrasi.marianus.chatgpt
manusia lemah sekali jika disapa oleh cinta yang pernah // ilustrasi.marianus.chatgpt

Oleh :Marianus Dewalking

METRUM.ID – Dalam dunia digital yang tak pernah tidur, setiap hati manusia adalah sebuah arsip. Sebuah museum kenangan yang terpatri dalam galeri ponsel, riwayat percakapan, dan lagu-lagu yang tersemat dalam playlist Spotify mereka. Ironisnya, arsip ini tak pernah benar-benar ditutup. Ia terus hidup, bernapas, dan sesekali, hantu dari salah satu ruang pamerannya mengetuk pintu masa kini. Fenomena inilah yang kita saksikan dalam tren TikTok yang tak ada habisnya: tatapan kosong seseorang yang ragu, fisik yang memeluk tubuh yang baru, namun jiwanya masih menari dengan bayangan dari masa lalu.

Kisah Rangga dalam novel 3726 MDPL dan Novel 0 MDPL adalah epos modern dari dilema purba ini. Ia adalah cerminan dari jiwa-jiwa yang mencoba membangun istana di atas tanah yang masih basah oleh air mata lama. Ketika Andini, masa lalu yang telah menjadi artefak suci di museum hatinya, kembali meminang dengan tangis yang memanggil pulang, seluruh konstruksi masa depan yang coba ia bangun bersama Nina seakan roboh. Ini bukan sekadar pilihan antara dua manusia; ini adalah pertarungan antara nostalgia yang memabukkan dan kenyataan yang menuntut keberanian. Komentar para pembaca, “manusia lemah sekali jika disapa oleh cinta yang pernah,” atau dalam penggalan lirik lagu asalkan kau bahagia milik Armada “aku punya ragamu tapi tidak hatimu” adalah gema dari kesadaran kolektif bahwa kita adalah makhluk yang terikat pada sejarah kita sendiri.

Secara psikologis, ini lebih dari sekadar “gagal move on.” Ini adalah tentang luka kelekatan (attachment wound) yang belum sepenuhnya pulih. Hubungan jangka panjang tak ubahnya proses menjahit sehelai jiwa pada jiwa yang lain. Perpisahan adalah robekan paksa, menyisakan jejak yang tak kasat mata. “Sapaan” dari masa lalu itu berfungsi layaknya mantra yang membelalak menghidupkan luka purba tersebut. Otak kita, sang pustakawan yang bias, cenderung memutar ulang kenangan terindah (rosy retrospection), menyaring semua kepedihan, hingga yang tersisa hanyalah utopia prihal “surga yang hilang.” Kembali terasa seperti penebusan, padahal sering kali itu hanyalah suratan untuk terluka dengan cara yang sama, sekali lagi.

Meminjam kebijaksanaan dari balik meja hijau melalui asas “ne bis in idem“: sebuah perkara yang telah diputus tidak dapat disidangkan kembali. Mari kita bayangkan hati adalah ruang pengadilan. Hubungan yang berakhir adalah sebuah kasus yang telah ditutup, dengan “palu putusan” yang diketuk berdasarkan serangkaian bukti pertengkaran, saksi air mata, dan fakta ketidakcocokan. Putusan itu telah inkracht secara emosional.

Maka, ketika seseorang seperti Rangga memilih untuk “membuka kembali berkas Andini,” ia tidak hanya melakukan pembangkangan terhadap putusan takdirnya sendiri. Ia juga melakukan penghinaan terhadap pengadilan (contempt of court) dimana Nina sedang berdiri sebagai “advokat bagi masa depan.” Nina datang membawa dalil-dalil baru tentang harapan dan kemungkinan, namun sang hakim—hati Rangga—terlalu sibuk menelaah yurisprudensi kesedihan dari kasus lamanya. Ini adalah ketidakadilan paling sunyi dalam cinta: memaksa seseorang menjadi pemeran pengganti dalam drama yang naskahnya telah usang di masa lalu.

Ke depan, tantangan ini akan semakin berat. Arsip digital memastikan tak ada yang benar-benar hilang, hanya terlelap. Sebuah “like” dari masa lalu bisa menjadi surat panggilan sidang yang tak terduga. Masa depan percintaan generasi sekarang mungkin tidak lagi didefinisikan oleh seberapa cepat mereka menemukan cinta, tetapi oleh seberapa bijak mereka menjadi kurator bagi arsip hati mereka sendiri. Pertanyaannya bukan lagi “siapa yang harus di pilih?”, melainkan “berkas mana yang harus di abadikan, dan berkas mana yang harus berani di bakar?”.

Pada akhirnya, untuk benar-benar melangkah maju, setiap individu harus menjadi hakim tertinggi bagi perasaannya sendiri. Berani memalu godam untuk terakhir kalinya seraya berkata pada masa lalu: “Perkara ini telah ditutup.” Karena hanya dengan keberanian untuk mengarsipkan kenangan tanpa membukanya kembali, kita bisa memberikan keadilan sejati bagi hati yang baru dan masa depan yang menanti.