KOLOM

Kesadaran Kemanunggalan Manusia Sunda dalam Tri Tangtu di Buana

×

Kesadaran Kemanunggalan Manusia Sunda dalam Tri Tangtu di Buana

Sebarkan artikel ini
Kesadaran Kemanunggalan Manusia Sunda dalam Tri Tangtu di Buana
Kesadaran Kemanunggalan Manusia Sunda dalam Tri Tangtu di Buana

Oleh Cevi Whiesa, Pegiat Budaya

Kita mengetahui bahwa jasad (corpse-hardware) sebagai komponen fisik hanya sebagian dari kesejatian hidup. Dalam setiap detik, fisik melaksanakan setiap tugas melalui panca indrawi; baik atau buruk dan mengirimkan data pada pikiran. Dengan segala kemampuannya pikiran menerima, mendefinisikan, mengolah, menambah, mengurangi, segala sesuatu yang dianggap perlu. Saat akan bepergian, keluar dari pintu rumah lalu mata melihat sandal maka pikiran menangkap itu, memerintahkan fisik untuk memakainya dengan cara memasukkan jari kaki. Selama fisik berada dan terikat dalam dimensi normal, pikiran dan fisik akan terus bekerja dalam setiap kondisi sekalipun saat tertidur, yang membedakan, kinerja keduanya sedikit menurun dengan tanpa menghentikan tugasnya untuk menerima setiap data yang masuk dan menjalankannya. Pikiran dan fisik bersifat liar manakala tidak ada rasa yang mengimbanginya. Tidak ada yang tau di mana persisnya keberadaan rasa, yang jelas dia ada dan selalu mempengaruhi apa yang didefinisikan pikiran dan yang dilakukan fisik. Pikiran seringkali gagal dalam mengolah data, fisik salah dalam bertindak dan biasanya rasa yang kemudian membereskannya. Dalam hal ini perlu dibedakan antara rasa dan perasaan sebab keduanya jelas merupakan sesuatu yang berbeda. Orang kelaparan diperintahkan pikirannya untuk membunuh hewan yang bukan miliknya untuk dimakan, hal itu jelas merupakan prilaku pikiran dan tindakan yang salah, pada saat pemikiran itu berlangsung lalu kecerdasan rasa melarang perbuatan itu, entah bagaimana caranya yang jelas kita pernah mengalami hal itu dalam apapun bentuk kasusnya. Fenomena rasa kerap kali menjadi penyelamat dalam tindak-tanduk kita.

Dalam hal ini, manusia Sunda menyebutnya sebagai sebuah kemanunggalan hidup yakni Tri Tangtu di Buana, Tri Tunggal, Tri Pramana. Dimana hal tersebut merupakan konsep paten yang harus dipahami agar kelangsungan hidup bisa berjalan dengan semestinya. Tri Tangtu di Buana berarti tiga ketentuan hidup di dunia; yang mengarah pada kesatuan atas tiga komponen utama dalam kehidupan yakni ingsun (sim-kuring), kurung, dan kuring. Ingsung bisa dikatakan merupakan sebutan lain dari ruh, keberadaannyalah yang memberi daya hidup kepada tubuh. Kurung berarti jasad, raga, fisik, dan kuring adalah rasa. Ingsun, kurung, dan kuring harus bersatu untuk bisa mencapai kah-urip-an atau hidup seutuhnya menjadi manusia yang sempurna. Jika satu dari tiga itu hilang maka bukan suatu kehidupan yang sempurna; jika ingsun bersatu dengan raga tanpa ada rasa maka disebut sebagai orang gila, jika ingsun bersatu dengan rasa tanpa ada raga maka disebut sebagai gaib (ririwa-jurig-hantu) yang berkedudukan di dimensi lain dalam kondisi mara-kayangan, sementara jika raga bersatu dengan rasa tanpa ingsun maka disebut sebagai jasad atau orang yang tidak terhidupi. Masuknya ingsun ke dalam tubuh melalui hidung sebagai pintu utamanya biasa disebut sebagai tamu agung yang lalu masuk ke seluruhnya tanpa terkecuali.

Konsep Tri Tangtu di Buana ini kemudian berlaku dalam aspek sosiologis dengan diadopsi pada ranah pemerintahan yakni rama, resi, ratu. Bangsa barat menyebutnya dengan Trias Politika atau pembagian kekuasaan dalam sebuah negara. Jauh sebelum bangsa-bangsa lain di dunia memiliki sistem pemerintahan, bangsa Sunda sudah menggunakan Tri Tangtu ini untuk menjalankan sistem sosial; rama sebagai pemegang kebijakan tertinggi secara ajaran dan hukum yang dalam tata wilayah disebut sebagai ka-rama-an/ka-raman/ka-ramat, resi sebagai penyampai ajaran dan nasihat-nasihat kepada rakyat yang dalam tata wilayah disebut sebagai ka-resi-an/ka-resén, ratu sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam wilayah teritorial, ka-ratuan/ka-raton).

Dalam hal ini, manusia Sunda menyebutnya sebagai sebuah kemanunggalan hidup yakni Tri Tangtu di Buana, Tri Tunggal, Tri Pramana. Dimana hal tersebut merupakan konsep paten yang harus dipahami agar kelangsungan hidup bisa berjalan dengan semestinya. Tri Tangtu di Buana berarti tiga ketentuan hidup di dunia; yang mengarah pada kesatuan atas tiga komponen utama dalam kehidupan yakni ingsun (sim-kuring), kurung, dan kuring. Ingsung bisa dikatakan merupakan sebutan lain dari ruh, keberadaannyalah yang memberi daya hidup kepada tubuh. Kurung berarti jasad, raga, fisik, dan kuring adalah rasa. Ingsun, kurung, dan kuring harus bersatu untuk bisa mencapai kah-urip-an atau hidup seutuhnya menjadi manusia yang sempurna.

Barangkali kita sudah mengetahui dan bersepakat tentang hal ini; sekalipun dengan-Nya kita adalah satu kesatuan yang utuh. Berbagai aliran kepercayaan yang hingga saat ini dianut manusia sudah sepakat tentang itu; dalam ajaran Hindu dikatakan ‘Tat Twam Asi’ yang artinya ‘aku adalah engkau, engkau adalah aku’, Al-Qur’an dalam surat Qaaf ayat 16 dikatakan ‘Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikan oleh hatinya dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya’, dalam ajaran Sunda dan Jawa dikatakan ‘Manunggaling Kaula Gusti’ yang memiliki arti sama dengan apa yang dikatakan dua ajaran itu; bahwa sejatinya keberadaan Tuhan tidak di satu tempat, Tuhan ada pada apa saja yang ada termasuk di dalam diri manusia dan jauh lebih dekat daripada seutuhnya diri manusia itu sendiri. Bagi yang sudah memahami hal itu, kelak akan dipahami pula bahwa harmonisasi adalah bagian dari inti kehidupan; keyakinan yang kuat terbentuk karena harmonisasi yang baik.

Ilustrasi: pinterest
KOLOM

Oleh Sandryaka Harmin  Kesedihan telah lenyap lebih cepat….