METRUM.ID – Pekan lalu, Badan Legislasi (Baleg) DPR membuka peluang bagi pemerintah untuk memberikan wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada perguruan tinggi dan usaha kecil dan menengah (UKM). Setelah hal itu berlaku untuk badan usaha ormas keagamaan.
Ketua Baleg DPR, Bob Hasan menyampaikan hal ini dalam rapat pleno penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) di Senayan, Jakarta, Senin (20/1/2025).
“Sebagaimana yang telah sering kita dengarkan, perlunya diundangkan prioritas bagi ormas keagamaan untuk mengelola pertambangan, demikian pula dengan perguruan tinggi, dan tentunya UKM, usaha kecil, dan sebagainya,” kata Bob Hasan.
Rapat pleno itu digelar di tengah masa reses untuk membahas dan menyepakati secara cepat revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba). Dia menjelaskan bahwa pemberian WIUPK kepada ormas keagamaan, perguruan tinggi, dan UKM bertujuan untuk memberi kesejahteraan kepada masyarakat.
Menurutnya, dengan pemberian WIUPK, masyarakat di sekitar wilayah pertambangan tidak lagi hanya terkena debu batu bara atau akibat-akibat daripada eksploitasi mineral dan batu bara tetapi juga merasakan hasilnya.
“Ini merupakan peluang bagi masyarakat, sehingga dapat melakukan satu usaha yang secara langsung,” ujarnya.
Baleg DPR berniat menambahkan pasal dalam UU Minerba, yakni Pasal 51A ayat (1) yang menyatakan WIUP mineral logam dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas. Kemudian, Pasal 51A ayat (2) mengatur soal pertimbangan pemberian WIUP ke perguruan tinggi, dan ayat (3) menyampaikan ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian WIUP kepada perguruan tinggi diatur berdasarkan peraturan pemerintah (PP).
Selain itu, Baleg DPR juga berniat menambahkan aturan untuk luas IUP di bawah 2.500 hektare untuk diprioritaskan diberikan kepada UKM daerah setempat.
“Kita yang terus berkembang dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, hal inilah mungkin yang menjadi pertimbangan sehingga perlunya percepatan dan ditambah dengan hilirisasi,” sambungnya.
Kendati demikian, anggota Badan Legislasi DPR, Umbu Kabunang Rudi Yanto Hunga menilai, pemberian izin tambang untuk perguruan tinggi dapat menimbulkan permasalahan baru.
“Bagaimana pemerintah bisa memilih memberikan suatu kewenangan kepada universitas, perguruan tinggi, yang mana harus diberikan kepada ribuan universitas di Indonesia? Ini menimbulkan masalah baru,” kata Umbu.
Menurutnya, kurang tepat apabila universitas diberikan kewenangan untuk mengolah tambang jika tujuan pemerintah adalah mendukung pemberian pendidikan yang bermutu di tingkat perguruan tinggi. Dia menilai, lebih tepat apabila kebijakan yang diberikan adalah bantuan dana langsung kepada universitas.
“Sepanjang kita belum mengatur bagaimana undang-undang universitas atau perguruan tinggi itu disesuaikan dengan pengelolaan tambang,” ucapnya.
Beragam Respon Usulan Universitas Urus Tambang
Ketua DPR RI Puan Maharani mengingatkan pentingnya meaningful participation alias partisipasi bermakna dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 4/2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Dia menyebut, pembahasan revisi UU tersebut telah melalui mekanisme rapat pimpinan di DPR.
“Nanti akan dilakukan participation meaningful. Kita minta supaya teman-teman yang ada di Baleg membuka, apa namanya, mendapatkan masukan dari luar,” kata Puan di Kompleks DPR RI, Jakarta, Jumat (24/1/2025).
“Kita membuka diri untuk menerima masukan dari kampus dan kampus kita undang untuk datang ke sini dan narasumber-narasumber juga kita minta untuk memberi masukannya,” tandas Puan.
Ketua Umum PP Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Ahmad Jundi Khalifatullah menyoroti usulan izin kelola tambang untuk perguruan tinggi. Dia menyindir kampus semestinya fokus berperan mencetak sumber daya manusia atau SDM.
“Kami dengan tegas menolak RUU Minerba yang melibatkan kampus dalam pengelolaan tambang. Seharusnya kampus fokus menyiapkan SDM berkualitas bukan bisnis tambang,” kata Jundi, Sabtu, (25/1/2025).
Menurutnya, pemberian izin kelola tambang untuk perguruan tinggi tak sejalan dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang perguruan tinggi. Dia menyebut kampus punya tugas pokok dalam menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
“Tugas utama perguruan tinggi itu menjalankan Tridharma dengan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,” kata Jundi.
Sementara, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Prof. Hibnu Nugroho menyambut baik wacana itu. Menurutnya, kesempatan tersebut bisa dimanfaatkan untuk keperluan riset mahasiswa.
Menurutnya, keterlibatan kampus dalam pengelolaan tambang juga bisa menjadi tambahan pendapatan bagi kampus.
“Saya sepakat banget, karena bisa untuk pembelajaran mahasiswa, riset dan mencari pendapatan untuk kepentingan lembaga,” kata Hibnu, dikutip dari suara.com Rabu (22/1/2025).
Hibnu melanjutkan, pendapatan tambahan dengan mengelola tambang bisa jadi membantu finansial perguruan tinggi. Terutama bagi Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum atau PTN BLU.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof. Fathul Wahid menyatakan bahwa bukan ranah perguruan tinggi mengelola bisnis pertambangan.
“Kalau saya ditanya, UII ditanya, jawabannya termasuk yang tidak setuju, karena kampus wilayahnya tidak di situ,” kata Fathul seperti dikutip Antara.
Menurutnya, akan jauh lebih baik apabila perguruan tinggi tidak terlibat dalam pengelolaan tambang.
Dia berujar, perguruan tinggi harus tetap fokus pada misi utamanya yang tertuang dalam Tri Dharma Peguruaan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, tanpa cawe-cawe masuk dalam bisnis tambang.
Dia melanjutkan, jika perguruan tinggi ikut terlibat dalam bisnis tambang, akan menggerus sensitivitas terhadap persoalan lingkungan dan peran kampus sebagai kekuatan moral. Apalagi, banyak laporan lembaga independen yang menunjukkan kontribusi besar usaha pertambangan terhadap kerusakan lingkungan.
“Saya khawatir juga bahwa ketika kampus masuk di sana, itu menjadi tidak sensitif karena logika bisnisnya menjadi dominan karena uang itu biasanya agak menghipnotis. Kalau itu sampai terjadi akan berbahaya,” katanya.
Sementara jika dilihat dari sudut pandang sosial kemasyarakatan, potensi benturan antara kampus dengan masyarakat bakal terjadi. Hal tersebut berkaca pada banyaknya kasus konflik antara masyarakat dengan perusahaan tambang, karena lahan yang diklaim, atau karena dampak pertambangan mengganggu aktivis sosial.
Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam memiliki data konflik tambang. Jatam pun dengan tegas menolak pemberian perizinan tambang kepada perguruan tinggi.
Merujuk data yang dimiliki Jatam, konflik antara masyarakat dengan perusahaan tambang sepanjang 2014-2019 mencapai 116 konflik. Kemudian di tahun 2020 tercatat ada 45 kasus konflik pertambangan, dengan rincian perusakan lingkungan 22 kasus, perampasan lahan 13 kasus, kriminalisasi warga penolak tambang 8 kasus, dan pemutusan hubungan kerja 2 kasus. Dari sejumlah konflik yang terjadi, 13 di antaranya melibatkan TNI dan Polisi.