KOLOM

Balada Lalong

×

Balada Lalong

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi: pinterest

Oleh Sandryaka Harmin 

Kesedihan telah lenyap lebih cepat. Seperti sapuan mentari musim panas pada bulir embun di sehelai rumput.

Apakah aku adalah pria yang bernafsu pada pepatah ‘bangunlah sebelum rejeki dipatok ayam’. Atau pria tawakal yang tiada terprovokasi dengan pepatah, ‘tiada terbangun oleh alarm atau oleh aroma kopi yang diseduh ibu dari dapur’

Membuka mata dengan malas sambil meraba-raba teringat chat terakhir kekasih yang disengajakan untuk tetap centang dua meski ia telah mengintipnya lebih dulu sebelum mematikan paket data.

Ia pun bangun sebelum mentari jadi matahari dan kopi berubah jadi sopi. Berjemur dengan sebatang rokok di bibir. Dunia tiadalah bergerak dari perspektif itu. Atau kalau ia bergerak, pria kita memilih berada di luar konteks.

Apakah aku perempuan yang ingin selalu disebut namanya. Atau perempuan yang menghadap lesung dengan dua alu di tangan.

Makin kencang gabah tertumbuk, makin deras keringat mengucur, makin kentara urat leher hendak tampil.

Ibu mencampur gabah dengan kenangan. Perempuan kita makin gila menumbuknya. Adapun pria kita telah memindahkan lesung ke pipinya. Apakah alu perempuan kita dan ibu akan menumbuk lesung itu?

Kita tidak tahu. Dan aku memilih memotret mereka dari ketinggian, dari loteng dari sebuah fondasi yang belum kering.