REGIONAL

Instruksi Presiden atau Dalih Bupati? Pulau Kera di Tengah Konflik Relokasi

×

Instruksi Presiden atau Dalih Bupati? Pulau Kera di Tengah Konflik Relokasi

Sebarkan artikel ini
Aliansi Advokasi Masyarakat Pulau Kera menolak relokasi paksa dari pemda Kabupaten Kupang (Metrum.id/M Izhul).
Aliansi Advokasi Masyarakat Pulau Kera menolak relokasi paksa dari pemda Kabupaten Kupang (Metrum.id/M Izhul).

METRUM.ID – Ratusan warga Pulau Kera, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), bersama sejumlah organisasi mahasiswa, menggelar aksi damai di Kantor Gubernur dan DPRD NTT pada Kamis (15/5/2025). Mereka menolak rencana relokasi yang dianggap mengancam eksistensi komunitas mereka. Dengan membawa poster dan menyuarakan yel-yel penolakan, massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Advokasi Masyarakat Pulau Kera ini memulai long march dari Jalan El Tari, Kota Kupang, sejak pukul 09.30 WITA.

Massa yang terdiri dari ibu-ibu, nelayan, dan mahasiswa ini menuntut keadilan atas tanah yang mereka klaim sebagai warisan leluhur. Sekitar pukul 10.00 WITA, rombongan bergerak ke Kantor DPRD NTT untuk melanjutkan orasi. Puluhan personel kepolisian terlihat berjaga di depan gedung, mengamankan jalannya aksi.

Sejarah Panjang Perjuangan dan Pengkhianatan

Penolakan warga Pulau Kera terhadap relokasi bukanlah cerita baru. Sejak tahun 1986, mereka telah menghadapi berbagai bentuk intimidasi dan manipulasi yang mencoba memisahkan mereka dari tanah leluhur :

1986: Rasiang Baco, Kepala Dusun II Pakula Bajo, memaksa 11 kepala keluarga menandatangani surat kosong tanpa penjelasan. Nama-nama yang terlibat termasuk Dahlan Baliang, Sanuddin, dan Rahman Jalamu.

1992: Pitobi membongkar 18 kuburan leluhur, termasuk 17 kuburan muslim dan 1 kuburan nonmuslim yang ditemukan dengan peti berisi cincin, rantai, dan kalung. Insiden ini memicu kemarahan warga yang merasa warisan budaya mereka diinjak.

2002-2004: Berbagai upaya relokasi ke Sulamu, Oesalaen, dan Amdoke, Semau Selatan, berakhir dengan penolakan setelah terbukti lokasi yang dijanjikan tidak layak. Salah satunya adalah ketika warga menemukan jarak ke bibir pantai bukan 400 meter seperti yang dijanjikan, melainkan 6 kilometer penuh batu karang.

2014: Pemerintah dan Pitobi kembali muncul dengan dalih pengembangan pariwisata, namun masyarakat yang sudah belajar dari pengalaman pahit menolaknya secara tertulis. Hingga kini, tidak ada tindak lanjut dari surat penolakan tersebut.

Manipulasi Data dan Intimidasi Terbaru

Tekanan terhadap masyarakat Pulau Kera mencapai puncaknya pada 16 April 2025, ketika Bupati Kupang, Yosef Lede, dalam sebuah pernyataan video yang beredar luas, mengancam akan mengerahkan lima truk pasukan TNI ke Pulau Kera jika masyarakat terus menolak relokasi. Ia bahkan menyatakan bahwa siapa pun yang “bukan warga Pulau Kera tetapi ikut bicara” akan “direndam di laut” – sebuah ancaman yang dianggap melewati batas dan menyalahi prinsip hak asasi manusia.

Pada 11 April 2025, Camat Sulamu bersama perwakilan Dinas Kependudukan (Dispenduk) dan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Kupang mendatangi Pulau Kera untuk melakukan pendataan. Mereka mengklaim bahwa kegiatan tersebut murni untuk administrasi kependudukan, namun belakangan terungkap bahwa data tersebut digunakan sebagai dasar legitimasi program relokasi. Dalam pernyataannya kepada media, Camat Sulamu menyebut bahwa 88 kepala keluarga (lebih dari 500 jiwa) telah setuju untuk direlokasi – sebuah klaim yang dibantah keras oleh warga sebagai kebohongan publik.

Audiensi di DPRD dan Sikap Tegas Masyarakat

Dalam audiensi pada 15 Mei 2025, sebanyak 25 perwakilan massa aksi diterima oleh Ketua Komisi I DPRD Provinsi NTT, Julius dari fraksi Nasdem. Bapak Hamdan, salah satu perwakilan masyarakat Pulau Kera, dengan tegas menolak relokasi tersebut. Ia menyatakan bahwa masyarakat Pulau Kera bukan hanya menolak dipindahkan, tetapi juga menuntut dihormatinya hak-hak adat dan sejarah panjang komunitas mereka di pulau itu.

“Kami menolak relokasi karena ini bukan tentang kesejahteraan, melainkan ancaman terhadap identitas kami sebagai masyarakat adat. Kami telah mendiami Pulau Kera sejak sebelum kemerdekaan Indonesia, dengan bukti sejarah berupa kuburan leluhur dan sumur tua yang masih ada hingga saat ini,” tegas Hamdan.

Fadli Anetong, salah satu perwakilan aliansi, menambahkan bahwa pemerintah tidak pernah melakukan sosialisasi yang transparan dan justru melakukan intimidasi terhadap warga. “Kami telah dipaksa untuk menerima relokasi yang tidak jelas dasar hukumnya, sementara kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan di pulau ini dibangun dengan swadaya kami sendiri,” ujarnya.

Ketua Komisi I DPRD NTT, Julius, berjanji akan memfasilitasi dialog antara masyarakat Pulau Kera dan Pemda Kupang untuk mencari solusi terbaik. Ia juga meminta masyarakat untuk tetap tenang dan menunggu informasi lebih lanjut dari pihak DPRD.

“Kami akan segera menghubungi bapa mama sekalian untuk memastikan hak-hak masyarakat tetap terjaga,” tutupnya.***