METRUM.ID – Komunitas MENDI Project resmi dideklarasikan dalam sebuah kegiatan diskusi publik yang berlangsung di Kaffe Mozza dan Galeri Desa, Penfui Timur, Kabupaten Kupang. (Senin, 12 Mei 2025) Mengusung tema “Implikasi Politik Primordial terhadap Pembangunan di Manggarai Raya”, kegiatan ini menjadi panggung awal bagi MENDI Project dalam memperkenalkan gagasan dan orientasi perjuangannya di tengah masyarakat, terutama kalangan muda.
Jl
Kegiatan ini dihadiri oleh 35 peserta yang merupakan perwakilan dari berbagai organisasi kepemudaan lintas kabupaten dan kecamatan di Manggarai Raya di kota kupang. Acara ini diawali dengan sesi diskusi publik yang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan deklarasi komunitas.
Diskusi dipandu oleh Klarita Moren selaku moderator, dan menghadirkan narasumber utama Ernestus Holivil, S.Fil., MPA, dosen Administrasi Negara dari FISIP Universitas Nusa Cendana (Undana), yang selama ini dikenal aktif mengkaji isu sosial-politik dan kebijakan publik.
Pemahaman Politik Primordial: Ulasan Awal oleh Moderator
Sebelum mengajukan pertanyaan kepada narasumber, moderator membuka diskusi dengan memberikan penjelasan mengenai pengertian politik primordial.
Menurut Klarita, politik primordial merupakan kecenderungan dalam proses politik di mana seseorang memberikan dukungan berdasarkan kesamaan identitas seperti suku, agama, ras, dan golongan, ketimbang melihat rekam jejak atau kebijakan yang ditawarkan oleh calon pemimpin.
“Sebagaimana dikemukakan oleh Edward Shils, seorang sosiolog dan ilmuwan politik, primordialisme adalah bentuk keterikatan mendalam pada kelompok sosial tertentu baik etnisitas, agama, maupun keluarga. Keterikatan ini menjadi faktor dominan dalam proses interaksi politik,” jelasnya.
Ia menambahkan, ketika emosi kolektif dan sentimen kelompok menjadi dasar utama dalam memilih pemimpin, maka akal sehat dan pertimbangan rasional seringkali terpinggirkan. Dampaknya adalah lahirnya kebijakan yang bias identitas dan berpotensi menciptakan ketimpangan sosial.
Moderator juga menyoroti konteks lokal. Manggarai Raya yang terdiri dari tiga kabupaten dengan sejarah kedaluan yang kuat, selama ini kerap dirasuki oleh praktik politik primordial. Budaya lokal yang mengakar justru dimanfaatkan untuk membangun dominasi politik berbasis keluarga dan kerabat.
“Desentralisasi yang seharusnya membuka partisipasi masyarakat secara luas, justru memperkuat pola dinasti politik. Banyak pemimpin lokal yang berusaha menempatkan saudara dan kerabat pada posisi strategis, membentuk kerajaan politik terselubung,” tegas Klarita.
Diskusi Substansial: Politik Identitas dan Keadilan Sosial
Ernestus Holivil dalam paparan materinya memantik diskusi lebih dalam. Ia menyampaikan bahwa konsep politik primordial tidak bisa dilepaskan dari konteks kuasa. Mengutip Benedict Anderson, Ernestus menjelaskan bahwa identitas budaya dan agama merupakan konstruksi sosial yang disebut sebagai “imagined community” sebuah komunitas yang terbangun melalui imajinasi kolektif, bukan fakta biologis.
“Primordialisme sering kali digunakan sebagai alat mobilisasi massa oleh kelompok tertentu. Ini bukan semata tentang budaya, tapi bagaimana dinamika kekuasaan bermain melalui simbol-simbol identitas,” ungkapnya.
Ia mencontohkan bagaimana dalam kontestasi politik, figur calon sering kali ‘menjual’ identitas budaya atau suku terlebih dahulu sebelum berbicara tentang visi dan misi. Di Manggarai, menurut Ernestus, seorang calon yang tidak mampu “omong adat” akan kesulitan diterima, sekalipun punya kapasitas intelektual tinggi.
“Sering kali, masyarakat tidak peduli apakah calon itu kompeten atau tidak. Yang penting dia berasal dari suku yang sama, punya darah dari dalu yang dihormati, atau anak dari tokoh yang berjasa di masa lalu. Di sinilah politik identitas bekerja, dan itu berbahaya bagi kualitas demokrasi,” ujar Ernestus.
Lebih jauh, ia menyoroti bahwa praktik politik seperti ini berdampak pada ketimpangan dalam pembagian kue pembangunan. Ketika pemimpin hanya berpihak pada kelompoknya, maka kelompok lain akan termarjinalkan. Akibatnya, kebijakan menjadi diskriminatif dan tidak inklusif.
Fenomena Ketidakadilan dan Mobilisasi Identitas
Ernestus juga menyoroti bahwa dalam beberapa kasus, identitas primordial bisa menjadi alat resistensi terhadap ketidakadilan. Ia mencontohkan kasus penolakan kebijakan geothermal di Manggarai yang digerakkan oleh kelompok masyarakat berbasis budaya dan suku yang sama.
“Ini membuktikan bahwa identitas juga bisa jadi alat perlawanan, ketika kelompok merasa dipinggirkan oleh kebijakan yang tidak adil,” katanya.
Namun, ia mengingatkan agar identitas tidak terus-menerus dikapitalisasi. “Jika tidak hati-hati, kita justru melanggengkan politik sektarian dan membiarkan ketidakadilan struktural terus tumbuh,” tambahnya.
Gagasan dari Forum
Salah satu peserta yang turut menyampaikan pandangan dalam forum ini adalah Elfid Dasmadi. Ia menyampaikan bahwa politik primordial menjadi diskursus penting dalam memahami fenomena pemilihan umum di tingkat lokal. Dalam pandangannya, kecenderungan memilih berdasarkan identitas etnis, agama, atau afiliasi historis tertentu cenderung mendegradasi rasionalitas politik.
“Politik primordial telah menyandera nalar publik. Masyarakat kerap memaknai pemilihan pemimpin sebagai soal keterwakilan kelompok, bukan kapabilitas dan visi,” ungkap Elfid dalam sesi tanggapan.
Deklarasi MENDI Project: Suara dari Pinggiran
Puncak acara ditandai dengan deklarasi resmi komunitas MENDI Project. Dalam sambutannya, Enji selaku pendiri menyampaikan bahwa “Mendi” dalam bahasa Manggarai berarti hamba—sebuah istilah yang dulunya merujuk pada kelompok sosial rendahan yang melayani raja dan elit kuasa.
“MENDI Project hadir sebagai ruang alternatif yang digerakkan oleh semangat kaum tertindas. Kami merasa bahwa mahasiswa saat ini sudah jauh dari persoalan masyarakat. Banyak yang justru larut dalam pergaulan negatif, mabuk-mabukan, dan tidak lagi peka terhadap isu-isu rakyat,” ungkap Enji.
Ia menekankan bahwa MENDI Project berkomitmen untuk membangun kesadaran kritis mahasiswa, meningkatkan budaya literasi, serta membuka ruang advokasi dan propaganda melalui media sosial.
“Kita ingin menghadirkan mahasiswa sebagai bagian dari gerakan sosial. MENDI Project bukan sekadar komunitas, tapi ruang edukasi, konsolidasi, dan perlawanan terhadap ketidakadilan,” tutup Enji.












