HUKUM

Memutus Perkara Diluar Surat Dakwaan: Kepastian Hukum atau Keadilan?

×

Memutus Perkara Diluar Surat Dakwaan: Kepastian Hukum atau Keadilan?

Sebarkan artikel ini
Vidya Triananda, S.H.,M.H (Hakim Pratama Muda Penata Muda Tk.I /III.b). Foto: Istimewa
Vidya Triananda, S.H.,M.H (Hakim Pratama Muda Penata Muda Tk.I /III.b). Foto: Istimewa

Oleh Vidya Triananda, S.H.,M.H (Hakim Pratama Muda Penata Muda Tk.I /III.b)

Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Agung dan badan-badan kehakiman lainnya bertanggung jawab atas pelaksanaan seluruh kegiatan penyelenggaraan peradilan yang dilakukan di wilayah Indonesia. Dengan demikian, UUD ini menetapkan bahwa Mahkamah Agung dan badan-badan kehakiman lainnya memiliki kekuasaan kehakiman yang merdeka. Menurut Bambang Poernomo, kekuasaan kehakiman adalah identitas yudikatif yang seharusnya bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah (eksekutif) dan kekuasaan perwakilan rakyat (legislatif) guna mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang independen dan otonom dalam melaksanakan peradilan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga peradilan, di bawah pengawasan Mahkamah Agung.

Sebagai lembaga yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, maka pengadilan ini pun merupakan lembaga yang bebas dan merupakan suatu syarat dalam suatu masyarakat di bawah Negara Hukum. Kebebasan demikian mengandung didalamnya kebebasan dari campur tangan dari badan-badan lainnya baik eksekutif maupun legislatif. Kebebasan yang dimiliki Pengadilan tidak lain adalah suatu kemandirian yang sangat diperlukan (indispensable) dan merupakan “Conditio Sine Qua non” karena selain menunjukkan bahwa negara ini adalah Rechtstaat juga menunjukkan akan adanya jaminan terselenggaranya peradilan yang independen guna menegakkan hukum yang berintikan keadilan, jauh dari keberpihakan.

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubunganhubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegak hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.

Menurut Wayne LaFavre, penegakan hukum sebagai suatu proses pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. Dengan mengutip pendapat Roscoe Pound, maka Wayne LaFavre menyatakan bahwa pada hakikatnya diskresi berada di antara hukum dan moral. penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu populer. Selain itu, ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.

Pentingnya penegakan hukum yang dilakukan oleh Hakim, memberikan kosekuensi bahwa Hakim harus mengadili dengan benar terhadap perkara yang diajukan kepadanya, ia tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan hukum tidak ada atau belum jelas, melainkan ia wajib mengadilinya. Sebagai penegak hukum ia wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hakim dalam mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya harus mengetahui dengan jelas tentang fakta dan peristiwa yang ada dalam perkara tersebut. Penegasan kewajiban hakim dalam memutus perkara diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa

“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Oleh karena itu, Majelis Hakim sebelum menjatuhkan putusannya terlebih dahulu harus menemukan fakta dan peristiwa yang terungkap pada persidangan, serta alat-alat bukti yang diajukan oleh penuntut umum dalam persidangan. Terhadap hal yang terakhir ini, Majelis Hakim harus mengkualifikasikan peristiwa dan fakta tersebut sehingga ditemukan peristiwa/fakta yang konkrit. Setelah Majelis Hakim memeriksa dan melakukan analisis terhadap peristiwa dan fakta secara objektif, maka Majelis Hakim harus berusaha menemukan hukumnya secara tepat dan akurat terhadap peristiwa yang terjadi itu. Jika dakwaan yang disusun oleh penuntut umum kurang lengkap, maka Majelis Hakim karena jabatannya dapat menambah/ melengkapi dasar-dasar hukum itu sepanjang tidak merugikan terdakwa hal ini sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh Hakim.

Dengan dasar sebagaimana dikemukakan di atas maka pertanyaan penting lainnya adalah apakah hakim memutus perkara diluar surat dakwaan harus memenuhi kepastian hukum atau keadilan ?. Perlu disampaikan sebelumnya bahwa terdapat aliran filsafat hukum untuk menjawab pertanyaan di atas. Pertama, Penulis mendasarkan pada aliran filsafat positivisme hukum. Legal-positivism memandang perlu untuk memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Hukum. bercirikan rasionalistik, teknosentrik, dan universal. Dalam kaca mata positivisme tidak ada hukum kecuali perintah penguasa, bahkan aliran positivis legalisme menganggap bahwa hukum identik dengan undang-undang. Hukum dipahami dalam perpektif yang rasional dan logik. Keadilan hukum bersifat formal dan prosedural. Dengan demikian perlu disampaikan beberapa aturan hukum mengatur tentang tugas hakim dalam memutus suatu perkara bahwa

Pasal 3 Undang-Undang 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

1. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.

2. Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kemandirian hakim di Indonesia merupakan prinsip fundamental dalam sistem peradilan yang bertujuan untuk menjamin bahwa hakim dapat menjalankan tugasnya tanpa tekanan, intervensi, atau pengaruh dari pihak mana pun, baik dari eksekutif, legislatif, maupun pihak lainnya. Prinsip ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan bahwa hakim dalam menjalankan tugasnya bersifat independen. Hal ini penting agar putusan yang diambil oleh hakim benar-benar berdasarkan fakta hukum dan keyakinannya sendiri, bukan karena tekanan dari luar. Dengan demikian, kemandirian hakim merupakan pondasi terciptanya peradilan yang adil dan tidak memihak.

Dalam kaitannya dengan kewenangan memeriksa dan memutus perkara hakim tidak terlepas dari kewajiban yang telah di atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 182 ayat (4) mengatur bahwa Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Dengan demikian secara prosedur hukum maka hakim dalam mengambil keputusan harus berdasarkan dakwaan jaksa penuntut umum dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Berdasarkan dua ketentuan yang bersifat formal dan prosedural sebagaimana di sampaikan di atas maka dalam memutus perkara hakim wajib mendasarkan musyawarah hakim pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Meskipun dalam fakta persidangan terdapat tindak pidana lain yang menyertai tindak pidana yang didakwakan, apabila tindak pidana tersebut tidak dimuat dalam surat dakwaan maka hakim tidak dapat memutus sendiri. Sesuai dengan pasal Pasal 5 Undang-Undang 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan aliran filsafat positivisme hukum (Legal-positivism). Hakim harus mendasarkan pada apa yang sudah diatur dalam Undang-Undang.

Kritik penulis terhadap positivisme hukum (Legal-positivism) dalam kaitannya dengan kewenangan hakim memutus perkara diluar surat dakwaan adalah hakim hanya bertugas menterjemahkan pasal-pasal dalam undang-undang, meskipun terdapat jaminan tentang kemerdekaan hakim namun berdasarkan positivisme hukum hakim tidak dapat berkreasi diluar undang-undang. Istilah “hakim sebagai corong undang-undang” (rechtspraak als spreekbuis van de wet) berarti bahwa hakim dalam memutus suatu perkara hanya bertindak sebagai penerjemah atau pelaksana undang-undang. Artinya, hakim tidak memiliki kewenangan untuk membuat aturan hukum baru, melainkan hanya menerapkan aturan hukum yang sudah ada pada kasus konkret. Konsep ini muncul dalam tradisi hukum civil law, seperti yang dianut Indonesia, di mana undang-undang dianggap sebagai sumber hukum utama. Hakim tidak bebas berimprovisasi atau membuat norma hukum baru, melainkan wajib mengikuti dan menerapkan peraturan perundang-undangan secara ketat. Dalam konteks ini, hakim ibarat “corong” yang menyuarakan bunyi undang-undang tanpa boleh menyimpang atau menambah aturan yang ada.

Namun, dalam perkembangannya, konsep ini mulai bergeser karena sering kali undang-undang tidak mengatur secara rinci semua persoalan yang muncul. Oleh karena itu, hakim di Indonesia kini juga menerapkan prinsip penemuan hukum (rechtsvinding) untuk mengisi kekosongan hukum atau memperjelas ketentuan yang multitafsir, tanpa mengabaikan norma dasar dalam peraturan perundang-undangan. Terdapat beberapa putusan pengadilan yang memutus perkara di luar surat dakwaan diantaranya adalah Putusan Pengadilan Negeri Rinai Nomor 10/Pid.B/2013/PN.Rni, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1829/K/PID.SUS/2011, Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor 1134/Pid.B/2010/PN. Sda dan Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 251/PID/2011/P.T.SBY.

Analisis Kedua, Penulis mendasarkan pada Filsafat Hukum Progresif. Teori Hukum Progresif merupakan pemikiran yang diperkenalkan oleh Prof. Satjipto Rahardjo, seorang pakar hukum Indonesia. Teori ini lahir sebagai respons terhadap pandangan hukum yang terlalu kaku dan formalistik, serta lebih mengutamakan keadilan substantif daripada sekadar kepatuhan terhadap aturan tertulis. Teori ini menekankan bahwa hukum harus melayani manusia dan tidak boleh memperbudak atau membebani masyarakat. Dengan kata lain, hukum harus lentur dan menyesuaikan diri dengan perkembangan sosial. Hukum tidak boleh dipahami sebagai sesuatu yang statis, tetapi harus terus berkembang sesuai dengan perubahan masyarakat. Hakim, aparat penegak hukum, dan pembuat kebijakan harus berani melakukan terobosan demi mencapai keadilan. Hukum progresif tidak hanya mengutamakan kepastian hukum tetapi juga memperhatikan nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan humanis lebih diutamakan dibandingkan dengan legal-formal. Contoh konkret penerapan hukum progresif adalah ketika hakim memutus perkara dengan mempertimbangkan konteks sosial dan keadilan substantif, bukan hanya berpatokan pada aturan kaku. Misalnya, dalam kasus-kasus tertentu, hakim dapat memutus dengan lebih bijak meskipun tidak sepenuhnya sejalan dengan teks hukum, selama hal tersebut lebih mencerminkan rasa keadilan. Secara umum, teori hukum progresif mengkritik pandangan positivisme hukum yang terlalu mekanis dan mengajak para penegak hukum untuk lebih berpihak pada keadilan manusiawi.

Hukum Progresif melihat, mengamati dan ingin menemukan cara berhukum yang mampu memberi jalan dan panduan bagi kenyataan. Pengamatan dan pengalaman terhadap peta perjalanan dan kehidupan hukum yang demikian itu menghasilkan keyakinan, bahwa hukum itu sebaiknya bisa membiarkan semua mengalir secara alami saja. Hal ini bisa tercapai apabila setiap kali hukum bisa melakukan pembebasan terhadap sekat dan penghalang yang menyebabkan hukum menjadi mandek, tidak lagi mengalir. Artinya, kehidupan dan mausia tidak memperoleh pelayanan yang baik dari hukum. Hukum progresif adalah cara berhukum yang selalu gelisah untuk membangun diri, sehingga berkualitas untuk melayani dan membawa rakyat kepada kesejahteraan dan kebahagiaan. Keadaan ideal tersebut dilakukan dengan aktivitas yang berkesinambungan antara merobohkan hukum, yang mengganjal dan menghambat perkembangan (to arrest development) untuk membangun yang lebih baik. (Satjipto Rahardjo:2009)

Secara ringkas, hukum progresif sesungguhnya sederhana, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berfikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. (Satjipto Rahardjo:2009). Berdasarkan filsafat hukum progresif ini, karakteristik pengadilan yang dibangun tentu akan bisa diekspresikan dengan baik manakala pengadilan itu sendiri memeriksa kenyataan yang terjadi, tidak hanya menggunakan peraturan yang bersifat legistik. Pada saat demikian hakim akan mampu memeriksa dan mengadili secara substantif dan obyektif suatu perkara yang diperiksa. Akan menjadi permasalahan apabila pengadilan hanya melihat aturan dan fakta yang tersaji tanpa mengorek lebih dalam peristiwa yang terjadi.

Pengadilan yang progresif dibangun bukan tanpa tantangan. Permasalahan yang dihadapi adalah tentang peralihan paradigma menghukum yang legaslitik menjadi yang progresif. Sehingga secara keseluruhan pembangunan peradilan progresif ini dilaksanakan secara menyeluruh dan menjadi suatu sistem hukum yang baru. Menurut pengalaman penulis sebagai hakim, maka permaslahan yang selanjutnya harus di pikirkan adalah reformulasi sistem pembuktian yang bersifat progresif pula. Selama ini proses pembuktian didasarkan pada teori negatief wettelijke yakni sistem menurut undang-undang sampai suatu batas yang tersebut dalam pasal 183, yang berbunyi : ”hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa yang bersalah melakukannya.

Berdasarkan membahasan di atas maka, penulis berkesimpulan bahwa memutus perkara di luar surat dakwaan berdasarkan prespektif positivisme hukum adalah dilarang artinya hakim tidak boleh memutus perkara diluar surat dakwaan sehingga lebih menekankan pada segi kepastian hukum dan keadilan yang bersifat formal dan prosedural. Sedangkan memutus perkara di luar surat dakwaan berdasarkan prespektif hukum positif adalah suatu hal yang lumrah dengan dalih karakteristik pengadilan yang berorientasi pada hukum progresif dibangun agar bisa diekspresikan dengan baik manakala hakim memeriksa kenyataan yang terjadi, tidak hanya menggunakan peraturan yang bersifat legistik. Oleh karena itu berdasarkan prespektif kedua ini lebih menekankan pada keadilan yang bersifat substantif. Dengan dibangunnya peradilan yang progresif tugas hakim menjadi sangat kompleks, seorang hakim bukan hanya sebagai teknisi undang-undang, tetapi juga mahluk sosial. Karena itu pekerjaan hakim sungguhlah sangat mulia karena ia bukan hanya memeras otak tetapi hati nuraninya.