HUKUM

Ketika Polisi Memukul dan Memutuskan Sendiri Hukuman untuk Dirinya

×

Ketika Polisi Memukul dan Memutuskan Sendiri Hukuman untuk Dirinya

Sebarkan artikel ini
Solidaritas Massa Aksi dalam Mengawal Sidang Etik Anggota Polisi terkait Kekerasan terhadap Pemred Floresa, Herry Kabut. Foto: Floresa
Solidaritas Massa Aksi dalam Mengawal Sidang Etik Anggota Polisi terkait Kekerasan terhadap Pemred Floresa, Herry Kabut. Foto: Floresa

METRUM.ID – Setelah menunggu selama empat bulan, harapan untuk keadilan dalam kasus kekerasan terhadap Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut, berakhir dengan keputusan mengecewakan.

Berdasarkan rilis yang diterima Metrum, sidang etik yang digelar Propam NTT di Polres Manggarai pada 24 Februari  hanya menetapkan satu pelaku, yakni anggota polisi bernama Hendrikus Hanu.

Meski dinyatakan bersalah, Hendrikus hanya dijatuhi sanksi berupa permintaan maaf lisan kepada korban dan pernyataan maaf tertulis kepada Kapolri, Listyo Sigit Prabowo.

Praktik Impunitas di Kepolisian

Keputusan ini semakin menegaskan sikap Polri yang terkesan melindungi anggotanya sendiri.

Sebelumnya, pada 6 Januari 2025, Polda NTT telah menghentikan proses hukum kasus ini dengan alasan “tidak cukup bukti.”

Padahal, pernyataan permintaan maaf dalam sidang etik membuktikan bahwa kekerasan terhadap Herry benar-benar terjadi, sebagaimana yang telah dilaporkan oleh Floresa.

Kasus ini berawal pada 2 Oktober 2024 ketika Herry Kabut mengalami tindakan represif saat meliput aksi protes warga Poco Leok di Kabupaten Manggarai yang menolak proyek geotermal.

Dalam insiden tersebut, sejumlah anggota Polri yang tengah mengamankan proyek menarik dan memiting leher Herry, serta memukulnya hingga mengalami luka di beberapa bagian tubuh. Warga yang berupaya merekam kejadian itu juga mendapat intimidasi dan pengejaran dari aparat.

Floresa kemudian melaporkan kasus ini ke Polda NTT di Kupang pada 11 Oktober 2024, lantaran khawatir laporan ke Polres Manggarai—yang merupakan kesatuan pelaku—tidak akan ditindaklanjuti secara adil.

Namun, keputusan Polri yang menghentikan proses pidana serta sanksi etik yang ringan bagi pelaku semakin memperlihatkan praktik impunitas di tubuh institusi kepolisian.

Keputusan ini tidak hanya mencederai keadilan bagi korban tetapi juga menunjukkan bahwa Polri tidak serius dalam menjamin keamanan jurnalis.

Sikap toleran terhadap kekerasan yang dilakukan anggotanya semakin memperburuk citra kepolisian dan membahayakan kebebasan pers di Indonesia.

Tolak Upaya Damai

Sebelumnya, Polda NTT menginformasikan rencana sidang etik terhadap anggota Polres Manggarai yang diduga terlibat dalam kekerasan terhadap Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut.

Sidang yang semula dijadwalkan pada 20 Februari 2025 di Ruteng ditunda dengan alasan keterbatasan tiket pesawat bagi tim Propam dari Kupang, tanpa kepastian jadwal baru.

Selain itu, muncul upaya pendekatan kepada Floresa agar kasus ini diselesaikan secara damai melalui mekanisme adat wunis peheng.

Kendati demikian, Floresa menolak dan memilih tetap memperjuangkan jalur hukum demi keadilan serta perlindungan jurnalis.