KOLOM

Memoar Pernah Berbaik Hatinya Seorang Gadis

×

Memoar Pernah Berbaik Hatinya Seorang Gadis

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi: pinterest

Oleh Sandryaka Harmin

Dulu aku ingin memelukmu erat-erat

tapi tidak jadi karena kamu adalah balon warna hijau.

Dikejar dinosaurus aku lari, dikejar ikan aku tidak mampu

Aku tenggelam dalam binar sinar matamu yang mantep itu.[1]

Setitik awan kecil menggumpal di langit kota ini. Orang-orang menyebutnya kota karang. Beberapa menyebut kota kasih. Ya, yentu aku tahu itu. Di mana-mana di alun-alun kota ini. Puluhan lampu neon bertuliskan “Kupang Kota Kasih” berkedip. Siapa sih…sosok yang pertama kali menyematkan julukan itu. Rasa-rasanya di kota ini dia menyalami kasih yang dahsyat. Sampai-sampai terpatri menjadi julukan kota kasih.

Aku setuju julukan itu disematkan untuk kota ini. Bukan karena aku juga mengalami kisah kasih di sini. Aku tidak peduli. Tapi karena gadis itu. Aku memanggilanya enu kadang nuu saja. Tak jarang pula kupanggil nuch.

Dia sosok yang mengajariku banyak hal. Dari yang reme temeh sampai yang paling ruwet pun aku belajar banyak dari dia. Orangnya sederhana. Kalau ditanya soal paras, eitss… tak diragukan lagi. Wajah cantik khas manggarai melekat alami padanya.

Hari-hari saya di kota ini terasa penuh warna setelah mengenalnya.

Aku tidak tahu pasti sudah berapa lama aku mengenalnya. Yaaa…kita Kira-kira saja pokonya terhitung lama lah.

Kalau hidup ini adalah buku maka mengenal dia adalah bab favoritku. Segala macam pengalaman hati, menyatu dalam bab ini. Senang, ceria, tertawa, terharu, bertengkar, sedih, salah paham, merajuk, toxic, dan masih banyak lagi.

Tapi naas. Waktu kurang bersahabat dengan rasa. Atau rasa yang kurang bersahabat dengan waktu. Aku mencintainya di waktu yang salah. Atau waktu yang menggiringku salah mencintainya.

Gadis itu memilih pergi. Dia menjauh dari hidupku. Aku sengaja tidak memberitahumu alasannya kenapa. Biar itu menjadi konsumsi pribadiku.

Terkadang ada saja moment di mana aku begitu merindukannya. Pernah sekali, saat asyik berselancar di beranda instagram jariku berhenti scrolling. Sebaris kalimat terpampang jelas di sebuah postingan.

“hati-hati rindu bisa datang dan menjelma menjadi lagu, parfum, makanan, bahkan tempat”

Aku rasa kalimat itu sepenuhnya mengarah kepadaku. Beberapa lagu yang kuputar, lirik dan melodinya selalu saja mengingatkan aku padanya. Kemarin di lorong perpustakaan aku tak sengaja mencium parfum seseorang, kukira dia ternyata bukan. Aroma parfum itu persis seperti yang sering dia pakai dulu. Tadi sore, di warung dekat rumahku seorang bapak-bapak ojol kudengar memesan mie ayam, sontak ingatanku terlempar jauh ke beberapa bulan lalu. Persis di warung ini di jam yang sama, dia juga memesan mie ayam. Makanan favoirtnya. Dengan sadar, tahu, dan mau aku juga sering mangkir di taman kota sekadar mencari inspirasi buat tulisan-tulisanku. Tak jarang pula memoriku berputar kembali di sana. Di mana dulu kami sering mengabiskan banyak waktu berdua menikmati pemandangan kota dan langit malam yang menawan.

Aku masih merindukannya. Tapi kini Gadis itu, sosok favorit yang sedari dulu menyesatkan aku dalam sinar binar matanya yang cantik berubah menjadi pelajaran hidup. Mencintai tidak harus memiliki. Aku mengubur kisah kasih itu dalam-dalam. Gadis itu bukan lagi pribadi yang kukenal.

Aku memang masih merindukannya. Namun bukan berarti aku ingin dia kembali persis menjadi manusia favoritku. Jauh di lubuk hati yang paling dalam aku hanya ingin dia kembali menjadi sekedar orang yang kukenal seperti orang-orang lain di sejengkal ingatanku; teman kuliah, teman kerja, atau bahkan orang-orang yang kutemui di jalan atau dalam moment-moment tertentu.  Pokoknya jadi seperti itulah kira-kira. Kenal tapi tidak spesial. Biasa saja. Kupikir itulah arti sebuah kedewasaan. Tidak menjadi asing apalagi menyimpan dendam dan benci. Kita berpisah hanya karena takdir. Semesta menulis skenario lain tentang kita berdua.

Di kota kasih setiap kisah tak selalu menjadi kasih. Terkadang kita butuh sedikit waktu dan ketenangan untuk memahami makna terdalam julukan itu; “kota kasih”

Tidak perlu saling menyesalkan apa yang pernah terjadi biarlah terjadi. Untuk apa saling menyalahkan? Kalau nyatanya dulu kita pernah sepakat saling menyatukan. Cukup kita saja yang gagal membuat semuanya indah.

Bagiku kamu tetaplah kamu. Seorang yang pernah kucintai dan kurindukan. Kalau aku menjauh bukan berarti aku ingin kamu mati. Aku tak sebenci itu kepadamu. Ini hanya cara menenangkan diriku sendiri. Terimakasih pernah bersedia bersama. Pergilah kemana hati membawamu.[2]

Segala doa yang terbaik saya langitkan untukmu. Sampai berjumpa di pertemuan yang tak disengaja esok hari.

[1] Puisi karya Indra Frimawan, komedian Indonesia.

[2] Boy Chandra, Hujan, Senja dan Cerita Yang Telah Usai (Jakarta: Mediakita, 2015), hlm: 73.