REGIONAL

Menghadang Rabies di NTT: Dari Data Kelam Menuju Aksi Bersama

×

Menghadang Rabies di NTT: Dari Data Kelam Menuju Aksi Bersama

Sebarkan artikel ini
Workshop Media dan Jaringan Komunitas Hari Rabies Sedunia 2025 yang digelar di Ruang Palacio, Aston Hotel Kupang, Jalan Timor Raya No. 142, Senin (1/9/2025). Acara ini diselenggarakan oleh Yayasan JAAN Domestik Indonesia dengan dukungan Humane World for Animals, serta berkolaborasi dengan Kementerian Pertanian, Pemerintah Provinsi NTT, Dinas Peternakan NTT, Yayasan Natha Satwa Nusantara, dan Universitas Nusa Cendana.
Workshop Media dan Jaringan Komunitas Hari Rabies Sedunia 2025 yang digelar di Ruang Palacio, Aston Hotel Kupang, Jalan Timor Raya No. 142, Senin (1/9/2025). Acara ini diselenggarakan oleh Yayasan JAAN Domestik Indonesia dengan dukungan Humane World for Animals, serta berkolaborasi dengan Kementerian Pertanian, Pemerintah Provinsi NTT, Dinas Peternakan NTT, Yayasan Natha Satwa Nusantara, dan Universitas Nusa Cendana.

METRUM.ID – Di balik panorama alamnya yang memesona dan destinasi wisatanya yang mendunia, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menyimpan tantangan kesehatan masyarakat yang belum tuntas: rabies.

Penyakit menular yang ditularkan melalui hewan ini terus menjadi ancaman nyata bagi warga, terlebih di daerah-daerah yang padat populasi anjing liar. Tak hanya berdampak pada kesehatan, rabies juga berpotensi mengganggu pariwisata sektor strategis yang diandalkan banyak wilayah di NTT.

Situasi ini mengemuka dalam Workshop Media dan Jaringan Komunitas Hari Rabies Sedunia 2025 yang digelar di Ruang Palacio, Aston Hotel Kupang, Jalan Timor Raya No. 142, Senin (1/9/2025). Acara ini diselenggarakan oleh Yayasan JAAN Domestik Indonesia dengan dukungan Humane World for Animals, serta berkolaborasi dengan Kementerian Pertanian, Pemerintah Provinsi NTT, Dinas Peternakan NTT, Yayasan Natha Satwa Nusantara, dan Universitas Nusa Cendana.

Rabies disebabkan oleh virus dari genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae, yang menyerang sistem saraf pusat. Penularan umumnya terjadi melalui gigitan atau jilatan hewan terinfeksi pada kulit yang terluka. Setelah memasuki tubuh, virus dapat menjalar menuju otak dengan kecepatan 12 hingga 24 milimeter per hari. Jika tidak segera ditangani, infeksi dapat berujung pada kematian dalam hitungan bulan.

Komposisi virus yang mengandung lipid membuatnya sensitif terhadap sabun atau deterjen. Oleh karena itu, mencuci luka dengan sabun sesegera mungkin setelah tergigit menjadi langkah pertama yang krusial sebelum tindakan medis lanjutan dilakukan.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rabies menyebabkan kematian sekitar 59.000 orang setiap tahun, dengan 40 persen di antaranya adalah anak-anak di bawah usia 14 tahun.

Data Kasus di NTT

Di NTT sendiri, ancaman rabies masih tinggi. Data Dinas Kesehatan Provinsi NTT yang dipaparkan oleh drh. Melky Angsar MSc, Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Peternakan Provinsi NTT, menunjukkan sejak 2023 hingga Juli 2025 terdapat 67.690 kasus gigitan hewan penular rabies (HPR) dan 101 kematian manusia. Lonjakan kasus terjadi pada 2024 dengan lebih dari 30 ribu gigitan dan 46 korban jiwa. Kabupaten dengan kasus gigitan tertinggi antara lain TTS, Sikka, dan Flores Timur, sementara angka kematian terbanyak tercatat di TTS, TTU, dan Nagekeo.

Melky menjelaskan, rabies bukan penyakit yang bisa disepelekan. Virus ini memiliki masa inkubasi bervariasi, dari dua minggu hingga berbulan-bulan, sehingga korban gigitan sering kali merasa sudah pulih padahal virus terus bergerak menuju otak. “Begitu gejala klinis muncul, tingkat kematian mencapai 100 persen,” ujarnya.

Pada hewan, khususnya anjing, gejala rabies ditandai perubahan perilaku yang drastis. Anjing yang biasanya jinak bisa tiba-tiba menjadi galak dan menyerang tanpa provokasi, atau sebaliknya menjadi sangat pasif. Anjing yang terinfeksi biasanya menggigit lebih dari satu korban dalam satu hari dan mati tidak lama setelah menggigit. Jika tertangkap, hewan perlu diobservasi minimal 14 hari.

Sementara pada manusia, gejala awal mencakup nyeri atau gatal pada bekas gigitan, demam, sakit kepala, hingga hidrofobia (takut air) dan fotofobia (takut cahaya). Pada tahap lanjut, penderita bisa mengalami kejang, perubahan perilaku, hiperaktivitas, hingga depresi sebelum akhirnya meninggal dunia.

Dorongan untuk Kolaborasi

Workshop ini bertujuan memperkuat sinergi lintas sektor, menyusun strategi pengendalian rabies yang berkelanjutan, serta mendorong pendekatan berbasis kesejahteraan hewan. Acara juga menjadi ruang berbagi praktik terbaik, tantangan di lapangan, dan pengalaman dari berbagai aktor, mulai dari pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil, hingga lembaga internasional.

Adv. Adrian Jane, S.H., M.BA, Managing Director Legal Lawsuit Animal Lawyer Indonesia sekaligus Legal Manager JAAN Domestic Foundation, memaparkan aspek hukum perlindungan hewan di Indonesia. Ia menekankan bahwa perdagangan daging anjing dan kucing adalah praktik kriminal karena bertentangan dengan sejumlah regulasi.

Adrian menyebut, Indonesia memang masih tertinggal dibandingkan Malaysia atau Singapura dalam hal perlindungan hukum terhadap hewan. Namun, ada kemajuan positif dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP pada 2026, yang meningkatkan ancaman pidana bagi pelaku penyiksaan hewan dari sembilan bulan menjadi satu tahun penjara, ditambah denda puluhan juta rupiah.

Ia juga memaparkan berbagai landasan hukum pelarangan perdagangan daging anjing dan kucing, di antaranya:

UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP (Pasal 337 ayat 1 dan 2, serta Pasal 476)

UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan jo. UU No. 41 Tahun 2014

UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan

UU No. 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan

PP No. 29 Tahun 2023 tentang pelaksanaan UU No. 21/2019

PP No. 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan

PP No. 47 Tahun 2014 tentang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Hewan

Perpres No. 48 Tahun 2013 tentang Budi Daya Hewan Peliharaan

Menurut Adrian, aturan-aturan ini menegaskan bahwa daging anjing dan kucing bukan kategori pangan. Karena itu, segala bentuk perdagangan maupun konsumsi tidak memiliki dasar legal. Praktik tersebut bukan hanya ancaman kesehatan, tetapi juga pelanggaran pidana.

Melalui kegiatan ini, para pihak berharap terbangun komitmen nyata untuk menurunkan angka rabies di NTT secara signifikan. Data yang menunjukkan lebih dari seratus korban jiwa dalam tiga tahun terakhir menjadi peringatan penting bahwa kolaborasi lintas sektor harus dijalankan secara konsisten, dengan mengedepankan pendekatan ilmiah, kolaboratif, dan berlandaskan pada prinsip kesejahteraan hewan.