CEK FAKTA

Opini | Kurban dan Perlawanan: Mewarisi Semangat Ibrahim di Tengah Imperialisme dan Penindasan

×

Opini | Kurban dan Perlawanan: Mewarisi Semangat Ibrahim di Tengah Imperialisme dan Penindasan

Sebarkan artikel ini
Yusril Ama Beda – Mahasiswa Hukum Universitas Muhammadiyah Kupang, Aktivis Front Mahasiswa Nasional Cabang Kupang

Oleh: Yusril Ama Beda – Mahasiswa Hukum Universitas Muhammadiyah Kupang, Aktivis Front Mahasiswa Nasional Cabang Kupang

Di tengah gemuruh takbir, Idul Adha kembali datang. Tapi perayaan ini seharusnya tak sekadar jadi rutinitas keagamaan belaka. Ia adalah penanda waktu yang mengingatkan manusia tentang makna pengorbanan, perlawanan, dan keberpihakan pada kebenaran—nilai-nilai yang sangat relevan dengan situasi hari ini, di mana rakyat masih digilas oleh sistem yang tak berpihak pada mereka.

Bila kita menoleh ke sejarah, maka satu figur penting muncul: Ibrahim, sosok yang dalam narasi peradaban dikenal bukan semata karena kesalehannya, melainkan karena keberaniannya menggugat kekuasaan tiranik di zamannya. Ibrahim bukan sekadar tokoh spiritual—ia adalah revolusioner yang menghancurkan berhala kekuasaan, menolak tunduk pada sistem yang mengkultuskan penguasa dan menindas rakyat.

Dalam konteks hari ini, berhala-berhala itu tak selalu berbentuk patung. Ia menjelma dalam rupa modal rakus, proyek yang menggusur rakyat, aparat yang membungkam suara, dan sistem ekonomi yang tak memberi tempat bagi yang lemah. Maka, meneruskan semangat Ibrahim berarti berpihak pada pembebasan, bukan kepasrahan.

Indonesia saat ini, secara struktur dan relasi kuasa, berada dalam cengkeraman imperialisme global, utamanya di bawah hegemoni Amerika Serikat. Negara ini masih terkunci dalam status setengah jajahan, setengah feodal, di mana tanah dikuasai tuan-tuan besar, alat produksi dimonopoli korporasi, dan arah pembangunan ditentukan oleh kekuatan pasar global, bukan rakyat.

Realitas ini terasa begitu dekat di tanah Nusa Tenggara Timur.

Di Pulau Kera, masyarakat nelayan yang hidup bergantung pada laut kini dihantui oleh isu relokasi. Atas nama konservasi dan pariwisata, ruang hidup mereka diganggu. Jika wacana ini direalisasikan, maka sesungguhnya itu bukanlah pembangunan, melainkan pengusiran sistematis terhadap mereka yang paling lemah dari tanah airnya sendiri.

Sementara itu, di Poco Leok, Manggarai, proyek geothermal menjadi simbol baru dari bentuk kolonialisme modern: sumber daya bumi dikeruk atas nama “energi bersih”, tapi rakyat adat dan kampung-kampung tua dikorbankan. Penolakan mereka dibalas dengan tekanan, stigmatisasi, bahkan kekerasan. Sama seperti zaman dulu, ketika suara kebenaran dianggap gangguan oleh penguasa.

Apa bedanya Ibrahim dengan rakyat Poco Leok? Tidak ada. Sama-sama melawan sistem yang tak manusiawi. Sama-sama mempertahankan hak untuk hidup bermartabat.

Kurban, dalam konteks ini, bukan hanya tentang hewan yang disembelih. Kurban hari ini adalah keberanian untuk meninggalkan zona nyaman dan berdiri di pihak yang benar. Ia adalah keberanian untuk berkata cukup, ketika tanah dirampas, ketika rakyat dilukai, ketika kekuasaan dibajak oleh segelintir elit dan kekuatan asing.

Sejarah mencatat bahwa tahun 2000 Sebelum Masehi, Ibrahim berdiri di hadapan penguasa besar—menghancurkan berhala, menggugat kezaliman, dan siap dikorbankan demi prinsip yang diyakininya benar. Maka, jika hari ini rakyat Manggarai, rakyat Pulau Kera, buruh-buruh kota, dan petani-petani miskin bangkit melawan, itu bukan kriminalitas. Itu adalah warisan sejarah pembebasan yang harus terus dirawat dan diperluas.

Idul Adha 2025 adalah panggilan untuk membebaskan, bukan membenarkan penindasan. Sebab sejarah tidak ditulis oleh mereka yang diam, tapi oleh mereka yang rela berkorban.

Tulisan ini merupakan refleksi dari seorang mahasiswa hukum yang yakin bahwa keadilan sosial bukanlah mitos, tapi tujuan yang harus diperjuangkan—meski harus dibayar dengan pengorbanan besar, seperti yang telah diwariskan oleh mereka yang terdahulu. ***