Oleh: Marianus Dewalking
METRUM.ID – Gaya politik akomodatif yang dipraktikkan Presiden Joko Widodo sejak awal pemerintahannya telah menandai babak baru dalam relasi kuasa di Indonesia. Dengan menggandeng lawan-lawan politik ke dalam lingkaran kekuasaan, Jokowi menciptakan stabilitas politik yang memukau di permukaan. Namun, di balik gestur “merangkul” itu, muncul praktik sistematis yang lebih dalam: kooptasi, yakni menyerap kekuatan oposisi agar tidak lagi menjadi ancaman nyata bagi jalannya kekuasaan.
Dalam kerangka teori politik, kooptasi bukan hal baru. Antonio Gramsci menyebut fenomena ini sebagai bagian dari hegemoni—proses di mana kekuasaan tidak hanya dijalankan dengan represi, tetapi melalui konsensus semu, dengan memanfaatkan lembaga-lembaga sosial, budaya, bahkan individu yang semula kritis. Di Indonesia, strategi ini telah menjadi semacam kultur politik: meredam kritik bukan dengan dialog sehat, tetapi dengan memberi kursi, jabatan, atau sekadar ruang kosong untuk sekutu semu.
Celakanya, pola ini tidak berhenti di Jakarta atau di pusat-pusat kekuasaan. Ia merembes halus ke struktur pemerintahan paling dasar—desa. Wilayah yang semestinya menjadi panggung utama demokrasi partisipatif justru menjadi ladang subur praktik kooptasi lokal. Alih-alih mendorong partisipasi sejati dari warga, elite lokal mengadopsi strategi yang sama: mendekati pihak-pihak kritis, bukan untuk mendengarkan, tetapi untuk menjinakkan.
Di tingkat lokal, kooptasi tak selalu berwujud formal. Ia bisa hadir dalam bentuk keterlibatan simbolik, ajakan rapat, bahkan sekadar basa-basi politik. Yang dulu bersuara, tiba-tiba diam. Yang kritis, perlahan lunak. Ini bukan karena persoalan selesai, tetapi karena ruang gerak telah dikurung oleh strategi yang membuat lawan merasa menjadi bagian dari solusi, padahal tanpa sadar dijadikan tameng kekuasaan.
Partisipasi semacam ini sejatinya ilusi. Demokrasi dibungkus dalam baju musyawarah, tapi substansinya kosong. Suara rakyat kecil terselip di balik jargon “kebersamaan”, namun tak pernah sungguh-sungguh diberi ruang. Inilah wajah kooptasi yang paling licik—ketika pengendalian dilakukan bukan dengan paksaan, tetapi dengan pelukan yang menyesakkan.
Tidak sedikit suara dari masyarakat yang berharap pada perubahan, namun kandas di tengah jalan karena sistem sudah terlalu lihai mengelola lawan. Di sinilah muncul fenomena yang menyakitkan: pengkhianatan dari dalam. Bukan lagi tekanan dari luar, tapi runtuhnya komitmen dari orang-orang yang semula berjalan bersama. Dalam bahasa politik, ini disebut sebagai bentuk konversi ideologis—perubahan arah yang lahir bukan dari kesadaran, melainkan dari kompromi yang terlalu murah.
Jurnal-jurnal akademik turut mengulas fenomena ini. Dalam Journal of Southeast Asian Politics (2020), disebutkan bahwa kooptasi elite lokal menjadi penyebab utama melemahnya kontrol sosial di tingkat desa. Sementara itu, artikel dari Jurnal Demokrasi Lokal (2021) menyoroti bahwa kooptasi tidak hanya melemahkan oposisi, tetapi juga menciptakan kekosongan moral dalam kepemimpinan masyarakat. Suara yang dulu mewakili nurani rakyat menjadi gema dari kekuasaan yang ingin tetap nyaman.
Dalam konteks ini, perjuangan rakyat tidak selalu soal perlawanan terbuka. Kadang, perjuangan adalah bagaimana tetap waras dan jernih di tengah sistem yang terus-menerus menawarkan kompromi. Bagaimana menjaga suara tetap lantang, meski ruang dibatasi. Bagaimana tidak menjadi bagian dari kooptasi yang meredam.
Bangunan demokrasi tak akan pernah kokoh bila fondasinya diisi dengan kepura-puraan. Ketika suara kritis justru dipeluk untuk dibungkam, maka yang lahir bukan keterlibatan, tetapi pengendalian. Ketika partisipasi diatur sedemikian rupa agar tak menyakitkan bagi penguasa, maka yang tersisa hanyalah demokrasi kosmetik.
Saatnya masyarakat, terutama di tingkat akar rumput, mengembangkan kesadaran baru. Bukan sekadar curiga terhadap siapa yang berkuasa, tetapi juga terhadap siapa yang tiba-tiba berubah sikap. Demokrasi sejati tidak membutuhkan pengkhianat yang tersenyum. Ia membutuhkan keberanian untuk tetap berdiri meski sendirian, dan keteguhan untuk tidak tergoda saat tangan kekuasaan mengulurkan pelukan.












