PENDIDIKAN

PBSI UMK Jadi Panggung Sastra Timur Bersama Bara Pattyradja

×

PBSI UMK Jadi Panggung Sastra Timur Bersama Bara Pattyradja

Sebarkan artikel ini
Ketua Prodi PBSI UMK, Idris Mboka, S.Pd., M.Hum., membuka acara dengan menekankan pentingnya pewarisan nilai-nilai sastra kepada generasi muda kampus (Metrum.id / M Izhul).
Ketua Prodi PBSI UMK, Idris Mboka, S.Pd., M.Hum., membuka acara dengan menekankan pentingnya pewarisan nilai-nilai sastra kepada generasi muda kampus (Metrum.id / M Izhul).

METRUM.ID – Dalam suasana yang sarat makna dan penuh estetika, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK) bersama Komunitas Sastra Pondok Aspira menggelar forum sastra bertajuk “Reorientasi Bara Syair dan Ngopi Puitika Lamahala”, sebuah pertemuan yang menyulut kembali bara kesadaran sastra di tengah generasi muda kampus.

Hadir sebagai narasumber utama, penyair nasional Bara Pattyradja, figur penting dalam peta kesusastraan Indonesia kontemporer yang dikenal dengan lirik-lirik tajam, reflektif, dan sarat makna ideologis. Ia lahir di Lamahala, Flores Timur, pada 12 April 1983, dan dikenal sebagai pendiri Rumah Poetica Kupang. Jejak intelektualnya menembus dua kota penting, menyelesaikan studi di Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Ia juga tercatat pernah aktif di Federasi Teater Indonesia, serta menjadi delegasi Indonesia dalam sejumlah forum kesusastraan regional dan internasional, termasuk Temu Pengarang Indonesia, Mufakat Budaya Indonesia, Kongres Kesenian Indonesia, dan Temu Penyair se-Asia Tenggara bersama delegasi dari 10 negara.

Forum tersebut menjadi ruang reflektif yang mempertemukan sastra, kritik, dan kesadaran sosial. Dihadiri pula oleh Ketua Prodi PBSI, Idris Mboka, S.Pd., M.Hum., serta Sekretaris Prodi sekaligus pembina komunitas, Siti Hajar, S.Pd., M.Hum.

Acara dibuka secara resmi oleh Idris Mboka, S.Pd., M.Hum., Ketua Prodi PBSI UMK, yang dalam sambutannya menegaskan pentingnya menjadikan sastra sebagai warisan intelektual yang hidup dan dinamis.

“Kegiatan ini lahir dari inisiatif untuk bagaimana Prodi PBSI tetap mewariskan sastra sebagai masa depan. Komunitas Aspira menjadi motor penggeraknya, karena mereka ingin lebih memahami hakikat kesenian, khususnya sastra Indonesia. Sastra bukan sekadar pelajaran kelas, melainkan warisan kebudayaan yang membentuk peradaban,” tegas Idris.

Dipandu oleh Sekar Indriyani, Ketua Komunitas Sastra Pondok Aspira, sesi diskusi berlangsung intim dan menggugah. Bara Pattyradja, dengan gaya tutur yang khas dan bersahaja, menekankan bahwa sastra adalah medan perjuangan sekaligus rumah kontemplasi.

“Puisi bukan sekadar bunyi indah atau estetika kosong. Ia adalah senjata kultural yang ampuh untuk membuka cakrawala berpikir, mengintervensi kekuasaan, dan menyuarakan yang tertindas. Jika ingin menjadi penyair hebat, jangan pernah bosan membaca—karena membaca adalah ritual menuju kebijaksanaan,” ungkapnya.

Lebih jauh, Bara menandaskan bahwa dalam sejarah bangsa-bangsa yang mengalami penindasan, sastra selalu hadir sebagai senjata tak kasatmata—menembus ruang publik, menyentuh nalar kolektif, dan menyulut keberanian untuk bertindak. Ia menyebut sastra sebagai “cermin retak yang justru memantulkan kenyataan secara lebih jujur.”

Forum ini dihadiri oleh sekitar 60an peserta, terdiri dari mahasiswa aktif PBSI UMK, alumni, serta mahasiswa PBSI dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang yang turut mempersembahkan monolog bertema perlawanan.

Rangkaian acara berlangsung dinamis, menampilkan musikalisasi puisi, monolog, hingga stand-up comedy, menjadikan forum ini tak sekadar diskusi intelektual, tetapi juga ruang perayaan atas keberagaman ekspresi sastra.

Dalam wawancara dengan Metrum.id, mahasiswa PBSI UMK Gifaldus Saputra Musu Loi menyampaikan refleksi kritisnya:

“Dalam lintasan sejarah bangsa-bangsa tertindas, sastra telah menjadi senjata yang tak kalah tajam dibanding senapan. Di Indonesia, masa kolonial dan pascakemerdekaan menyaksikan bagaimana puisi, cerpen, drama, dan esai menjadi medium perlawanan terhadap kebijakan yang menindas rakyat. Maka, sastra bagi saya adalah peluru ideologis yang menyulut kesadaran rakyat.”

Acara ini bukan hanya menjadi titik temu antara generasi dan gagasan, tetapi juga bukti bahwa di tengah arus digital yang deras, sastra tetap relevan sebagai ruang kritik, ekspresi, dan transformasi sosial. Bara Pattyradja, bersama Komunitas Aspira dan PBSI UMK, telah membuktikan bahwa bara puisi tak akan pernah padam—selama masih ada yang percaya bahwa kata-kata bisa menyelamatkan dunia.***