Oleh: Marianus Dewalking
METRUM ID – Tanggal 14 Februari disetiap tahun, dunia merayakan Hari Valentine sebagai momen untuk mengekspresikan kasih sayang. Namun, seiring berjalannya waktu, makna perayaan ini mengalami banyak distorsi, terutama di kalangan generasi muda. Valentine yang seharusnya menjadi simbol cinta yang tulus dan pengorbanan justru berubah menjadi ajang konsumtif dan sering kali disalahartikan sebagai kebebasan dalam hubungan asmara.
Sejarah Valentine: Dari Pengorbanan Menjadi Komersialisasi
Hari Valentine berakar dari kisah Santo Valentinus, seorang biarawan katolik di Roma pada abad ketiga. Ketika Kaisar Claudius II melarang pernikahan bagi pemuda agar mereka fokus menjadi prajurit, Valentinus menentang kebijakan itu dengan menikahkan pasangan secara diam-diam. Akibatnya, ia dihukum mati pada 14 Februari, yang kemudian diperingati sebagai Hari Valentine. Awalnya, perayaan ini bermakna pengorbanan demi cinta sejati, namun kini lebih banyak dimaknai sebagai ajang bertukar hadiah dan perayaan romantisme yang sering kali berlebihan.
Menurut penelitian Ajeng Kusumasari Purwaningsih, sikap remaja terhadap Hari Valentine berhubungan erat dengan perilaku konsumtif mereka. Mereka cenderung menghabiskan uang untuk membeli hadiah, makan malam mewah, atau bahkan mengikuti tren budaya populer yang sering kali mengaburkan makna asli Valentine.
Mispersepsi Generasi Muda tentang Valentine
Banyak anak muda menganggap Hari Kasih sayang ini sebagai momentum untuk membuktikan cinta melalui hal-hal yang bersifat fisik dan materi. Padahal, cinta sejati bukan diukur dari pemberian hadiah atau perayaan mewah, melainkan dari ketulusan dan kesetiaan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahkan mengkhawatirkan bahwa perayaan ini dapat memicu perilaku menyimpang, seperti meningkatnya angka seks bebas di kalangan remaja. Hal ini tentu bertentangan dengan nilai moral dan etika yang seharusnya dijunjung tinggi.
Seperti yang dikatakan Boy Candra dalam bukunya yang berjudul Catatan Pendek untuk Cinta yang Panjang, “Cinta itu kaya, tak selayaknya ia membuatmu menjadi pengemis”. Cinta bukan tentang meminta pengakuan melalui materi atau pengorbanan yang tidak sehat, tetapi tentang saling membangun dan mendukung.
Mengembalikan Makna Sejati Valentine
Sebagai generasi yang kritis, penting bagi kita untuk memahami bahwa Hari Kasih sayang bukan hanya tentang pasangan romantis. Kasih sayang bisa diekspresikan kepada siapa saja baik itu keluarga, sahabat, atau bahkan diri sendiri. Alih-alih terjebak dalam euforia sesaat, mari kita jadikan Valentine sebagai momen refleksi tentang bagaimana kita mencintai dengan cara yang benar.
Dengan memahami sejarah dan makna sejati Hari Valentine, kita dapat menghindari mispersepsi yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Sebab, cinta sejati bukan tentang satu hari perayaan, tetapi tentang bagaimana kita memperlakukan orang-orang terkasih dengan penuh cinta dan kasih sayang setiap harinya.