METRUM.ID – Mendi Project kembali menggelar diskusi publik Season 2 bertajuk “Lawan Kekerasan Seksual: Saatnya Perempuan dan Anak Mendapat Perlindungan Nyata”. Kegiatan yang berlangsung secara daring dan luring di Moza Kafe dan Galery, Desa Penfui Timur, Kabupaten Kupang pada 31 Mei 2025 ini dihadiri oleh 102 peserta.
Ketua Mendi Project, Enji Juna, dalam sambutan pembuka menyampaikan keprihatinannya terhadap maraknya kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak.
“Begitu banyak pemberitaan terkait kekerasan seksual yang menyayat hati. Perempuan dan anak kerap menjadi korban, padahal budaya kita sejatinya menempatkan mereka sebagai makhluk yang harus dicintai dengan tulus. Ini bukan salah satu-dua pihak saja, ini kesalahan kolektif yang lahir dari budaya hidup individualistik dan kurangnya kepedulian terhadap sesama,” tegas Enji.
Enji menekankan pentingnya pendekatan perlindungan menyeluruh, mulai dari pencegahan, pendampingan korban, hingga pemulihan. Ia juga mengajak semua pihak pemerintah, aparat penegak hukum, akademisi, LSM, organisasi, dan komunitas untuk bekerja bersama dalam upaya perlindungan ini.
Diskusi menghadirkan Maria W. Invilata Watu Raka, SH.,MH.,M.IL., M.IR., Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana,Margaritha H. Mauweni, ST., MM., CGAA., CMED, Kepala Seksi Tindak Lanjut UPTD PPA NTT,Marta Muslin, SH., MH., Advokat Perempuan
Diskusi dipandu oleh Klarita Moren, yang turut memaparkan data peningkatan signifikan kasus kekerasan seksual menurut Komnas Perempuan.
Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) 2024, tercatat 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkat sekitar 9,77% dari tahun sebelumnya. Kekerasan seksual menempati posisi tertinggi, diikuti kekerasan psikis, fisik, dan ekonomi.
Data SIMFONI PPA per 21 April 2025 mencatat 6.918 laporan kekerasan, di mana 86% korban adalah perempuan. Di Nusa Tenggara Timur (NTT), kondisi dianggap darurat dengan 75% narapidana kasus kekerasan seksual dan 60% korban adalah anak-anak, menurut Ketua Tim PKK NTT, Asti Laka Lena.
Beberapa kasus kekerasan yang mencuat sepanjang 2025 antara lain:
Dugaan kekerasan seksual oleh eks Kapolres Ngada
Kasus pencabulan oleh pegawai bank di Flores Timur terhadap delapan anak
Dugaan praktik prostitusi yang melibatkan pelajar di Labuan Bajo
Margaritha Mauweni memaparkan peran UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) NTT dalam penanganan kasus kekerasan. Berdasarkan Peraturan Gubernur NTT No. 49 Tahun 2022, UPTD PPA memiliki struktur yang memungkinkan penanganan komprehensif, mulai dari pengaduan, penjangkauan korban, pengelolaan kasus, mediasi, hingga pendampingan psikologis dan hukum.
Pada 2024, UPTD PPA menangani 398 kasus, dan hingga Mei 2025 telah menangani 241 kasus, termasuk 59 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Namun, lembaga ini menghadapi tantangan seperti kesulitan memperoleh identitas korban terutama dari wilayah terpencil, keterbatasan akses layanan, dan kendala komunikasi.
Meski demikian, UPTD PPA terus memperkuat kolaborasi lintas sektor, termasuk dengan lembaga keagamaan seperti SINODE, MUI, Keuskupan Agung, serta menyediakan shelter sementara di Jalan Beringin, Fontein, Kupang.
Diskusi menegaskan bahwa perlindungan perempuan dan anak bukan hanya tugas negara, melainkan tanggung jawab bersama. UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) mengamanatkan hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang wajib dipenuhi oleh negara.
Kolaborasi antara pemerintah, lembaga, dan masyarakat menjadi kunci utama untuk menekan kasus kekerasan seksual, termasuk melalui penyediaan rumah aman dan edukasi publik. Mendi Project berharap diskusi ini menjadi titik awal membangun kesadaran dan aksi nyata demi masa depan yang lebih aman bagi perempuan dan anak.
Maria W. Invilata Watu Raka, SH.,MH., M.IL., M.IR, dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana, menjelaskan bahwa perlindungan terhadap perempuan dan anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang sudah diperjuangkan jauh sebelum adanya instrumen hukum formal.
Maria menekankan pentingnya pendekatan socio-legal agar penegakan hukum tidak hanya terpaku pada norma tertulis, tetapi juga melihat realitas sosial dan budaya yang melatarbelakangi kasus kekerasan. Ia mengulas berbagai tonggak hukum internasional seperti Deklarasi Universal HAM, CEDAW, dan Konvensi Hak Anak, serta menyoroti tantangan implementasi di Indonesia meski berbagai konvensi telah diratifikasi. Salah satu contohnya adalah lambannya proses pengesahan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang memakan waktu hampir 30 tahun setelah ratifikasi CEDAW.
Maria juga mengkritik sistem peradilan pidana yang seringkali justru menyulitkan korban, serta pentingnya pengakuan terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual non-tradisional. Menurutnya, perlindungan hukum yang efektif harus melibatkan pemulihan korban dan menjadikan perspektif korban sebagai pusat dalam proses hukum.
Marta Muslin, SH., MH., seorang women advocate memberikan perspektif yang lebih praktis dari pengalamannya di lapangan. Ia menyoroti adanya kekerasan sistemik terhadap anak yang terjadi secara masif namun tak kasat mata, khususnya di wilayah seperti Labuan Bajo dan Ruteng sejak tahun 2009.
Marta mencontohkan pembiaran negara terhadap praktik anak-anak di bawah umur yang tinggal sendiri di rumah kos tanpa pengawasan orang tua atau wali, yang menurutnya merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak pengasuhan anak. “Negara tahu dan membiarkan. Ini pelanggaran hak pengasuhan dalam UU Perlindungan Anak,” ujarnya. Ia mempertanyakan mengapa sekolah dengan sistem zonasi tidak dibarengi dengan fasilitas asrama yang aman.
Lebih lanjut, ia mengkritisi denial pemerintah terhadap kasus prostitusi anak di Labuan Bajo yang sempat mencuat ke publik. Menurut Marta, prostitusi anak adalah akibat dari serangkaianpembiaran: kurangnya pengawasan, lemahnya sistem pengasuhan, stigma sosial, serta kondisi ekonomi yang mendorong anak-anak mengejar gaya hidup urban dengan menjual diri secara organik, tanpa mucikari.
“Kalau kita menyebut mereka ‘alat’, itu justru membiasakan. Sebut saja apa adanya: anak-anak pelacur. Karena di situ ada rasa malu, ada kesadaran akan nilai diri,” tegasnya.
Marta juga menyoroti buruknya sistem perlindungan seperti safe house yang tidak aman, mudah diakses wartawan, bahkan membocorkan identitas korban. Ia menilai banyak tenaga profesional yang tidak menjaga kerahasiaan korban.
Ia pun menolak pendekatan moralistik atau penghukuman terhadap korban. “Anak-anak ini curhat ke saya karena tidak tahu harus percaya ke siapa. Bahkan untuk tes HIV saja mereka takut, karena petugasnya bisa saja menyebarkan info mereka.”
Marta mendorong adanya reformasi menyeluruh dan pengalihan skala prioritas pemerintah untuk menjamin pengasuhan, pendidikan, dan keamanan anak. “Kalau kondisi ini dibiarkan, kita tidak sedang menuju Indonesia Emas, tapi Indonesia Cemas,” tandasnya.
Sementara itu, salah satu peserta diskusi, Brogian Ribhato, mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, menyampaikan pandangannya mengenai akar kekerasan seksual yang menurutnya belum tersentuh secara mendalam.
“Saya tidak sekadar mengajukan pertanyaan, tetapi ingin berbagi pandangan. Kasus kekerasan seksual terus meningkat dari tahun ke tahun. Artinya, langkah-langkah yang diambil belum menyentuh akar masalah secara tepat. Saya melihat akar persoalannya justru terletak pada sistem sosial dan kultural yang patriarkal. Sistem ini secara hirarkis menempatkan laki-laki sebagai kelompok kelas pertama, dan perempuan serta anak sebagai kelas kedua.”
Brogian menyoroti bahwa dalam budaya patriarkal, perempuan sering dikonstruksikan untuk tinggal di ruang privat “cukup di dapur” dan dibatasi keterlibatannya di ruang publik. Ia menyebut ini sebagai hasil dari konstruksi sosial yang bisa diubah.
“Pola pikir ini adalah hasil dari pengetahuan yang dianut bersama. Seks berkaitan dengan jenis kelamin biologis, tetapi gender adalah konstruksi sosial. Jadi anggapan bahwa perempuan tidak layak terlibat di ruang publik adalah bentuk dari false consciousness, kesadaran palsu yang dijalankan terus-menerus tanpa disadari sebagai bentuk kekerasan,” lanjutnya.
Ia juga menyoroti sistem pendidikan yang tidak membangun kesadaran, tetapi justru menanamkan rasa takut. Anak-anak, kata dia, tidak berani berbicara bahkan ketika menjadi korban karena terbiasa dididik untuk tidak ‘melawan’ orang dewasa, sekalipun benar.
“Pendidikan kita membentuk rasa takut, bukan kesadaran. Anak-anak takut bicara karena dibungkam secara budaya. Bahkan rasa malu yang dialami korban muncul karena standar kesucian perempuan masih diukur dari keperawanan. Ini adalah beban stigma sosial yang sangat berat.”
Pernyataan Brogian tersebut memperkaya perspektif diskusi dan mempertegas bahwa persoalan kekerasan seksual tidak bisa dilepaskan dari struktur sosial dan sistem pendidikan yang menormalisasi ketimpangan












