Oleh : Sandryaka Harmin*
Metrum.ID_Banyak pejabat di negeri ini belagak cerdas. Mereka tampil di hadapan publik dengan segudang istilah asing, jargon akademis, bahkan kadang diselingi kutipan filsuf atau ekonom besar dunia. Sekilas, publik mungkin terkesima. Namun bila dicermati lebih dalam, yang muncul hanyalah deretan retorika kosong. Kata-kata indah itu tak punya akar pada metodologi yang jelas, apalagi menawarkan solusi konkret bagi persoalan bangsa.
Fenomena ini bukan barang baru. Politik kita seolah terjebak dalam budaya pamer intelektual. Seorang pejabat dianggap visioner bukan karena kematangan analisisnya, melainkan karena kefasihannya melontarkan istilah yang sulit dipahami rakyat. Padahal ukuran kecerdasan seorang pemimpin tidak terletak pada rumit atau tidaknya kata yang dipilih, melainkan pada kejernihan pikirannya dalam merumuskan masalah serta konsistensi langkah dalam menyelesaikannya.
Ada kesalahpahaman besar di sini. Banyak pejabat mengira bahwa retorika adalah substansi. Mereka lupa bahwa retorika hanyalah wadah, bukan isi. Kata-kata yang disusun dengan rapi memang bisa menghibur, bisa memikat, bahkan bisa menipu sesaat. Tetapi tanpa dasar berpikir yang kokoh, retorika hanya berakhir sebagai pertunjukan. Politik lalu bergeser menjadi panggung teater, di mana pejabat sibuk berakting sebagai “intelektual” sementara rakyat tetap terjebak pada masalah lama: kemiskinan, ketidakadilan, dan lemahnya pelayanan publik.
Kemiskinan metodologi terlihat jelas ketika seorang pejabat berbicara soal kebijakan. Alih-alih menunjukkan data, kerangka analisis, atau tahapan implementasi yang terukur, mereka sering menumpahkan kata-kata abstrak: “penguatan sinergi lintas sektor”, “transformasi struktural berkelanjutan”, atau “arus besar peradaban digital”. Indah didengar, tetapi hampa makna. Sementara di lapangan, persoalan dasar seperti jalan rusak, layanan kesehatan, dan pendidikan bermutu rendah masih belum teratasi.
Metodologi adalah fondasi berpikir yang seharusnya membimbing pengambilan keputusan. Tanpa metodologi, pejabat hanya bergerak dengan intuisi politik atau sekadar meniru apa yang populer. Mereka tidak mampu mengurai masalah ke akar, tidak sanggup menimbang alternatif kebijakan, apalagi mengevaluasi dampaknya secara rasional. Akibatnya, kebijakan sering berubah-ubah, tidak konsisten, dan gagal menembus persoalan struktural.
Budaya retorika kosong ini juga diwariskan dalam birokrasi. Banyak laporan instansi penuh dengan istilah teknokratis yang sebenarnya hanya menutupi ketidakmampuan. Kata-kata bombastis menjadi semacam kamuflase agar publik teralihkan dari ketiadaan hasil. Ironisnya, publik pun sering terjebak mengagumi kepintaran semu itu, alih-alih menuntut bukti nyata.
Yang kita butuhkan sesungguhnya bukan pejabat yang pandai bicara, melainkan pejabat yang jujur berpikir. Kejujuran berpikir berarti berani mengakui keterbatasan, terbuka pada kritik, dan disiplin menggunakan metodologi dalam setiap kebijakan. Seorang pejabat seharusnya bisa menjelaskan persoalan dengan bahasa sederhana namun dengan logika yang tajam. Itulah tanda kedalaman intelektual: kesanggupan mengurai kompleksitas menjadi pemahaman yang bisa dipahami semua orang, bukan malah membungkus kesederhanaan dengan istilah yang membingungkan.
Sejarah mencatat, banyak pemimpin besar dunia justru dikenal bukan karena kepintaran retorika mereka, melainkan karena konsistensi tindakan dan kejernihan berpikir. Bung Hatta, misalnya, jarang sekali menggunakan kata-kata rumit. Namun ketika ia berbicara tentang ekonomi kerakyatan, jelas terlihat kerangka konseptual dan metodologi yang ia gunakan. Begitu pula tokoh-tokoh lain yang mengutamakan substansi di atas penampilan.
Bangsa ini tidak sedang kekurangan retorika. Kita justru kelebihan kata-kata indah. Yang benar-benar langka adalah pejabat yang mau bekerja dengan disiplin metodologis, yang berpikir dengan kerangka jelas, lalu menjabarkannya dalam langkah nyata. Selama pejabat masih lebih sibuk memainkan peran sebagai “aktor intelektual” ketimbang menjadi “pekerja kebijakan”, selama itu pula rakyat akan terus menjadi penonton setia pertunjukan retorika.
Sudah saatnya publik lebih kritis. Jangan lagi mudah terpesona pada pidato berapi-api atau istilah asing yang seolah intelektual. Tanyakan: di mana datanya? Bagaimana metodologinya? Apa ukuran keberhasilan kebijakan itu? Hanya dengan cara itu kita bisa memaksa pejabat kembali pada jalur yang seharusnya: bekerja dengan akal sehat, disiplin berpikir, dan kejujuran intelektual.
Karena pada akhirnya, bangsa ini tidak bisa dibangun oleh retorika kosong. Ia hanya bisa ditopang oleh metodologi yang kokoh, oleh pemimpin yang berpikir jernih, dan oleh keberanian untuk lebih banyak bekerja ketimbang berbicara.
Namun, beban memperbaiki keadaan ini tidak bisa hanya ditimpakan pada pundak pejabat. Masyarakat pun harus belajar mencerahkan dirinya sendiri. Sebab, pejabat yang penuh retorika kosong lahir dari iklim politik yang dibiarkan oleh rakyat. Selama masyarakat masih mudah terpukau oleh pidato indah tanpa substansi, selama itu pula kita akan terus melahirkan pemimpin yang miskin metodologi.
Di sinilah pentingnya merawat akal sehat bersama. Masyarakat perlu membekali diri dengan sikap kritis agar tidak mudah diperdaya. Caranya adalah dengan menguji calon pemimpin berdasarkan tiga filter yang seharusnya diprioritaskan secara berurutan. Pertama, etikabilitas: kejujuran moral, integritas pribadi, dan konsistensi perilaku. Tanpa fondasi etika, kecerdasan hanya akan menjadi alat untuk menipu. Kedua, intelektualitas: kemampuan berpikir runtut, metodologis, dan rasional dalam merumuskan kebijakan. Intelektualitas yang matang akan menghasilkan keputusan yang bijak dan terukur. Ketiga, barulah elektabilitas: daya tarik politik yang membuatnya bisa diterima dan dipilih masyarakat luas.
Sayangnya, urutan ini sering terbalik dalam praktik politik kita. Elektabilitas dijadikan filter pertama, seakan popularitas sudah cukup untuk menebus segala kekurangan moral maupun intelektual. Dampaknya jelas: kita mendapatkan pemimpin yang lihai memainkan citra, tetapi lemah dalam substansi. Padahal, pemimpin sejati seharusnya lahir dari etika yang teruji, intelektualitas yang matang, dan baru kemudian memperoleh legitimasi elektoral.
Dengan kata lain, yang mendesak hari ini bukan hanya menuntut pejabat untuk jujur berpikir, melainkan juga mendorong masyarakat agar tidak kehilangan daya kritisnya. Rakyat perlu membangun budaya bertanya, menimbang, dan menolak retorika tanpa isi. Akal sehat harus dijaga agar tidak dikooptasi oleh pencitraan murahan.
Jika masyarakat konsisten menilai pemimpin dengan tiga filter itu, maka pejabat yang hanya mengandalkan retorika kosong akan tersisih dengan sendirinya. Mereka tidak akan lagi mendapat panggung, karena rakyat sudah melek metodologi. Rakyat sudah tahu membedakan mana kecerdasan semu dan mana kebijaksanaan sejati.
Mencerahkan masyarakat dengan cara ini adalah pekerjaan jangka panjang. Tetapi tanpa itu, demokrasi kita hanya akan terus jadi arena panggung kata-kata indah. Bangsa ini tidak bisa selamanya dituntun oleh retorika. Ia hanya bisa bergerak maju jika rakyatnya berani merawat akal sehat, dan memilih pemimpinnya dengan urutan yang benar: etikabilitas, intelektualitas, baru kemudian elektabilitas.
Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Nusa Cendana Kupang