Metrum.ID_Hidup saya tak asing dengan ketidakadilan. Ini rupanya adalah gejala yang cukup luas ditemukan di dalam sejarah. Yesus difitnah, lalu dihukum salib. Nelson Mandela harus mendekam puluhan tahun di penjara, karena melawan politik apartheid. 2025, Indonesia, kasus Tom Lembong membuat kita marah atas ketidakadilan yang terjadi. Ratusan juta warga Indonesia harus menelan ketidakadilan setiap harinya, karena pemerintahan yang korup dan busuk sampai ke akar.
“Sejarah menunjukkan bahwa ketidakadilan bisa bertahan lama, tapi tidak abadi. Setiap zaman punya orang-orang yang menolak tunduk. Mungkin sekarang giliran kita.”
Ketidakadilan adalah makhluk tua yang tahu caranya menyamar. Ia bisa muncul dalam bentuk sistem hukum yang tak adil, aparat yang tak berpihak pada rakyat, media yang dikooptasi kekuasaan, atau bahkan dalam bisikan batin yang memaksa kita untuk diam ketika seharusnya bersuara.
Tapi sejarah selalu punya titik balik. Tidak ada rezim zalim yang bertahan selamanya. Tidak ada kebohongan yang bisa terus menutupi cahaya kebenaran tanpa retak pada akhirnya. Dunia pernah menyaksikan Galileo dikucilkan karena kebenaran ilmiah, Martin Luther King Jr. ditembak karena mimpinya tentang keadilan rasial, atau Munir Said Thalib yang diracun karena keberaniannya membela hak asasi manusia. Mereka semua hidup di zaman yang gelap—namun mereka memilih menjadi cahaya.
Dan hari ini, ketika kita menyaksikan betapa korupsi seolah menjadi budaya, ketika suara rakyat dibungkam oleh algoritma dan tekanan sosial, ketika kebenaran dipelintir oleh buzzer dan elit politik yang berpura-pura suci—maka tak ada pilihan selain menjadi bagian dari perlawanan. Mungkin bukan dengan senjata, bukan pula dengan kekerasan, tapi dengan keberanian untuk tetap waras, berpikir kritis, dan berbicara ketika kebanyakan orang memilih bungkam.
Karena kalau kita terus diam, ketidakadilan akan merasa aman. Ia akan tumbuh, berkembang, dan menjelma jadi norma. Maka kita harus menjadi gangguan. Menjadi suara sumbang dalam pesta kepalsuan. Menjadi mata yang menatap tajam saat yang lain memilih menunduk. Menjadi mulut yang mengucap “cukup!” meski tahu akibatnya bisa tidak menyenangkan.
Kita mungkin bukan Yesus, bukan Mandela, bukan tokoh besar yang tercatat dalam buku sejarah. Tapi perubahan tidak selalu dimulai dari panggung besar. Kadang ia lahir di ruang-ruang kecil: di hati yang menolak dibeli, di meja makan tempat keluarga diajak berpikir kritis, di ruang kelas, di tulisan-tulisan yang menyuarakan kebenaran, di sikap sehari-hari yang memilih adil meski rugi.
Karena itu, saat kita merasa hancur oleh ketidakadilan, ingatlah: kita tidak sendirian. Kita adalah bagian dari barisan panjang manusia yang menolak menyerah. Dan mungkin—ya, mungkin sekarang giliran kita untuk berdiri. Meski pelan. Meski sendiri. Tapi tetap berdiri.
Untuk sebuah dunia yang lebih layak. Untuk negeri yang tidak terus diwarisi luka. Untuk anak cucu yang kelak bertanya: “Dulu saat keadilan diinjak-injak, kamu diam atau melawan?”
Apa jawaban kita?












