KOLOM

Jejak Paus Fransiskus: Warisan Damai bagi Dunia Luka

×

Jejak Paus Fransiskus: Warisan Damai bagi Dunia Luka

Sebarkan artikel ini
Paus Fransiskus. Foto: Tempo.co
Paus Fransiskus. Foto: Tempo.co

Dalam pesan Prapaskah terakhirnya, Paus Fransiskus menulis, “Marilah Kita berjalan bersama dalam pengharapan,” (Dokpen KWI, 2025). Kini, kalimat itu terdengar seperti pesan perpisahan, kendati menyerupa keputusasaan—melainkan pelita untuk menuntun umat dalam gelapnya zaman.

Oleh: Marianus Dewalking 

METRUM.ID – Paus Fransiskus telah berpulang. Dunia menjerit tangis, langit seakan ikut berkabung, dan suara doa menyelimuti bumi dari basilika hingga dusun-dusun terpencil. Ia pergi tepat di masa Paskah, saat umat Katolik merenungkan wafat dan kebangkitan Kristus—sebuah momen yang bukan hanya liturgis, tapi sungguh menjadi permenungan mendalam bagi seluruh umat manusia: tentang pengorbanan, kasih, dan harapan akan kehidupan kekal.

Paus Fransiskus, pemimpin yang melampaui batas tembok Vatikan, bukan hanya seorang imam, melainkan gembala yang hidup di tengah domba-dombanya. Ia datang dari tanah Argentina, membawa semangat Injil bukan hanya ke mimbar, tapi ke jalanan, ke kamp pengungsi, ke rumah sakit, ke dalam hati yang patah. Dalam Injil Yohanes 10:11, Yesus berkata, “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya.” Dan barangkali, tak ada kutipan yang lebih tepat untuk menggambarkan hidup beliau.

Meski hidup dengan penyakit yang tak ringan, beliau tetap mengembara ke sisi-sisi terpencil dunia, menyuguhkan pesan damai, menyerukan pertobatan ekologis, menyapa yang terlupakan, membela yang lemah. Ia datang ke Indonesia pada 2024, disambut dengan tangis haru jutaan umat. Di tengah sakitnya, beliau berdiri tegak dan berkumandang, “Jangan lelah menabur perdamaian.” Kalimat sederhana itu kini menjadi warisan tak ternilai, seperti benih yang ditanam di tanah hati manusia.

Dalam pesan Prapaskah terakhirnya, Paus Fransiskus menulis, “Marilah kita berjalan bersama dalam pengharapan,” (Dokpen KWI, 2025). Kini, kalimat itu terdengar seperti pesan perpisahan, namun bukan perpisahan yang membawa putus asa—melainkan pelita untuk menuntun umat dalam gelapnya zaman.

Ia berbicara tentang Gaza, tentang Ukraina, tentang Sudan—bukan hanya sebagai berita dunia, tetapi sebagai luka yang harus diobati dengan kasih dan doa. Ia tidak pernah menyerukan perang, bahkan ketika dunia ingin membalas. Ia tidak pernah mengutuk, bahkan ketika yang lain memilih membenci. Ia hanya mengajak, dengan suara lembut namun penuh kuasa: “Doakan musuhmu. Rangkul yang tertinggal. Jangan pernah membalas kejahatan dengan kejahatan.”

Wafatnya di masa Paskah seolah menjadi peringatan bahwa kasih sejati selalu bertaut dengan pengorbanan. Dunia kehilangan seorang bapa, namun Surga menyambut seorang hamba yang setia. Ia tidak hanya memimpin Gereja Katolik, tapi juga hati miliaran manusia yang melihatnya sebagai wajah cinta ilahi di bumi.

Kita berduka, ya. Tapi kita perlu bersyukur. Karena pernah hidup di zaman Paus Fransiskus. pernah mendengar suaranya. Pernah melihat tangannya mengangkat wajah-wajah lusuh, patah dan nyaris menyerah.

Kini, saat lilin-lilin dinyalakan di kapel-kapel kecil, saat umat berdoa dalam sunyi, kita tahu: warisan agung itu tak akan pernah usang. Ia hidup di setiap langkah menuju perdamaian. Ia hidup dalam Injil yang dibacanya, dalam pelukannya kepada yang miskin, dan dalam cintanya kepada dunia yang terluka.

Dan kini, tidak terdengar lagi suara lembutnya menggetarkan balkon Vatikan, dunia terasa sejenak sunyi. Tapi justru dalam keheningan itu, suara kasihnya yang paling menggema. Dalam setiap pelukan kepada seorang anak yatim, dalam setiap kecupannya di kening para lansia, dalam doanya kepada pengungsi di tenda-tenda kecil—Paus Fransiskus telah mewariskan surga di antara debu dunia.

Ia pernah berkata, “Gereja bukan museum orang suci, melainkan rumah sakit bagi yang terluka.” Maka kita tahu, warisan terbesar beliau bukanlah dogma yang berat, melainkan tindakan kasih yang nyata. Paus Fransiskus tidak hanya mencintai kaum kecil, tapi membuat mereka merasa dicintai. Ia tidak hanya bicara tentang belas kasih, tapi menjadi wajah belas kasih itu sendiri.

Dalam terang Paskah ini, ketika kita mengenang wafat dan kebangkitan Yesus, kita melihat bayangan beliau berjalan di belakang Sang Gembala Agung. Seorang gembala tua, bersandar pada tongkatnya, namun hatinya membara dengan cinta yang tak padam. Ia berjalan perlahan, membawa dunia yang ringkih, menapaki jalan salib yang sunyi. Tapi ia tidak gentar, karena ia tahu: di balik Jumat Agung, selalu ada Minggu Kebangkitan.

Kini tubuhnya mungkin terbaring diam, tapi jiwanya sudah berlari ke pelukan bapa. Dan di sana, mungkin Kristus sendiri menyambutnya, sambil berkata: “Marilah, hamba-Ku yang setia. Tempat paling agung untuk mu telah disiapkan”

Bapa, Untuk kami yang engkau tinggalkan, air mata ini adalah pujian. Duka ini adalah ucapan terima kasih. Dan hidup kami-semoga menjadi lanjutan dari kasihmu yang tak pernah lelah mencintai.

Selamat jalan, Bapa Suci. Terbanglah bersama malaikat. Dan doakan kami dari Surga, agar kami tetap berjalan, tetap berharap, tetap mencinta… seperti yang telah engkau wariskan.