Oleh Muh. Rafli Rizaldi (Bendahara PKC PMII Kalimantan Utara)
Setiap tahunnya, Ramadan datang seperti tamu spesial yang membawa pesan kebaikan. Bulan puasa bukan hanya sekedar menahan nafsu, lapar dan haus, melainkan panggung bagi manusia untuk berevolusi dari jiwa yang teralihkan dunia menjadi insan yang lebih peka, dari ego yang kaku menjadi hati yang lapang dan dari kebiasaan konsumtif menjadi pribadi yang berbagi.
Di tengah gemerlap dunia modern yang kerap mengukur segalanya dengan produktivitas materi, Ramadan mengajak kita berhenti sejenak, merenung, lalu bergerak dengan cara yang lebih bermakna.
Semakin bertambahnya usia, suasana Ramadan kali ini berbeda dari tahun sebelumnya. Saat kita masih kecil, bulan ini terasa penuh keajaiban, bangun sahur dengan semangat meski mata masih berat, menanti adzan Magrib sambil bermain petasan, bermain petak umpet sewaktu sholat tarawih atau berlomba menghabiskan makanan buka puasa di meja makan.
Semuanya terasa magis, seolah Ramadan adalah hadiah yang datang dengan bungkus warna-warni. Tapi ketika usia bertambah, nuansanya kian berubah. Bulan suci tak lagi hanya tentang keceriaan, melainkan tentang perjalanan mencari makna di tengah hiruk-pikuk tanggung jawab, kelelahan, dan kerinduan akan kesederhanaan masa lalu.
Saat dewasa, Ramadan tiba tanpa mengurangi daftar tugas harian. Ada yang harus bekerja dan ada yang mencari kerja, ada yang pusing mengurus tagihan, ada yang merenung dengan perut kosong. Tidak ada lagi ibu yang membangunkan kita dengan suara lembut untuk sahur, atau bapak yang dengan sabar memotivasi agar kuat berpuasa.
Kini, alarm kesadaran yang menggantikan peran itu, dan kita sendiri yang harus memasak nasi saat mata masih berkabut. Kadang, ada rasa kesepian dalam kesunyian dini hari, ketika kita menyadari bahwa tanggung jawab telah mengubah kita dari anak yang dimanja menjadi orang dewasa yang harus mandiri.
Di balik semua itu, ada kedewasaan baru yang tumbuh. Puasa tak lagi sekedar menahan lapar dan haus, tapi juga belajar mengelola emosi saat hati dan pikiran sedang bertentangan. Sholat tarawih tidak lagi dijalani sekedar untuk ikut orang tua ke masjid, tapi sebagai ruang pelarian sejenak dari dunia yang terlalu bising. Saat sujud dalam gelapnya malam, kita bisikkan doa yang lebih dalam bukan hanya permintaan baju baru lagi, tapi harapan agar diberi kekuatan menghadapi persoalan hidup.
Justru dalam kesederhanaan itu, makna Ramadan menemukan bentuknya yang paling jujur. Tidak masalah jika tarawih kadang hanya delapan rakat atau jika sahur cuma dengan mie campur nasi. Yang penting, hati tetap lapang menjalaninya. Kita mulai paham bahwa Ramadhan bukan tentang kesempurnaan, tapi tentang perjalanan menjadi lebih baik. Ramadhan juga mengajak kita untuk lebih peka. Melihat anak jalanan yang tetap tersenyum meski sedang berpuasa dibawah keganasan dunia, melihat bapak banting tulang demi keluarga, melihat ibu mengusap air mata penuh harapan.
Suasana Ramadan saat ini terasa berbeda dengan kenangan sewaktu kecil, Di sini, kita tidak lagi berpuasa karena disuruh, tapi karena mengerti bahwa inilah saatnya membersihkan jiwa dari karat duniawi. Di balik rutinitas yang melelahkan, ada ruang untuk introspeksi sudah sejauh apa kita tumbuh? Sudahkah kita menjadi manusia yang lebih baik dari tahun sebelumnya?
Memang, ada kalanya kita ingin kembali ke masa ketika Ramadan terasa lebih ringan. Tapi mungkin, justru dalam Ramadan versi dewasa inilah kita menemukan diri yang sebenarnya, manusia yang tetap berusaha, meski tak sempurna, yang tetap berharap, meski kadang kecewa, dan yang tetap tumbuh, meski dihajar realita.
Akhirnya puasa yang membumi, inilah Ramadan kita sekarang tak lagi naif, tapi penuh kesadaran. Dan di sanalah letak keindahannya.