REGIONAL

Mengabdi di Tengah Ancaman Relokasi, FMN dan AGRA Resmi Jalankan Tiga Sama di Pulau Kera

×

Mengabdi di Tengah Ancaman Relokasi, FMN dan AGRA Resmi Jalankan Tiga Sama di Pulau Kera

Sebarkan artikel ini
Hari Pertama Pengabdian, FMN dan AGRA Tinggal Bersama Warga Pulau Kera (Metrum.id / M Izhul).
Hari Pertama Pengabdian, FMN dan AGRA Tinggal Bersama Warga Pulau Kera (Metrum.id / M Izhul).

METRUM.ID – Di tengah derasnya arus pembangunan yang kerap melupakan suara masyarakat pesisir, Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Kupang dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Wilayah NTT mengambil langkah berbeda. Dua organisasi ini hadir di Pulau Kera bukan sebagai penonton atau pengamat, melainkan sebagai bagian dari denyut kehidupan masyarakat yang saat ini tengah menghadapi isu relokasi yang mengancam ruang hidup mereka.

Dengan mengusung program Tiga Sama — Sama Tinggal, Sama Kerja, dan Sama Makan — FMN dan AGRA melaksanakan pengabdian selama tiga hari di Pulau Kera mulai Hari ini Kamis, 29 Mei 2025. Sekitar 20 kader dari kedua organisasi tinggal bersama warga, mengikuti aktivitas mereka, dan menjalankan sejumlah program edukatif serta politis yang menyasar semua kelompok usia.

Dalam penjelasannya, Febri Bintara selaku pimpinan FMN Cabang Kupang menyampaikan bahwa konsep Tiga Sama merupakan bentuk pelayanan rakyat yang rutin dilakukan. “Program ini berangkat dari keyakinan bahwa teori harus diabdikan kembali kepada rakyat. Teori yang dipelajari di bangku kuliah tidak boleh berhenti di ruang-ruang seminar, melainkan harus diturunkan dan dipraktikkan langsung di tengah rakyat yang menjadi sumber lahirnya teori itu sendiri,” tegas Febri.

Ia menambahkan bahwa Tiga Sama menjadi jembatan antara mahasiswa dan rakyat, agar mahasiswa tidak sekadar menjadi penonton persoalan masyarakat, tetapi justru hadir sebagai bagian dari solusi. “Kami tidak datang membawa janji atau sekadar observasi. Kami datang untuk tinggal, bekerja, dan makan bersama rakyat. Kami datang untuk hidup sebagai rakyat,” ujar Febri.

Pulau Kera dipilih sebagai lokasi kegiatan karena berbagai alasan mendesak. Selain isu relokasi yang menghantui masyarakatnya, terdapat pula persoalan mendalam di bidang pendidikan. “Masih banyak anak-anak yang belum bisa membaca dan menulis. Bahkan sejumlah orang tua juga belum menguasai kemampuan dasar literasi. Maka itu, kami membuka Sanggar Belajar sebagai salah satu program inti,” jelas Febri. Sanggar ini akan dimulai pada Jumat, 30 Mei 2025, dan ditujukan bukan hanya kepada anak-anak, tetapi juga kepada para orang tua — termasuk ibu-ibu — yang belum bisa membaca maupun menulis.

Lebih jauh, ia menekankan bahwa kegiatan ini bukan hanya soal edukasi, tetapi juga proses ideologis dan politis. “Tiga Sama adalah bentuk pengabdian yang memiliki nilai filosofis yang dalam. Ini bukan sekadar pelayanan, melainkan momen konsolidasi, pendidikan politik, serta ruang penyadaran massa rakyat,” terang Febri. Ia berharap para kader FMN dan AGRA dapat benar-benar memahami denyut persoalan rakyat. “Bagaimana susahnya hidup sebagai nelayan, bagaimana rasanya dimarginalkan kebijakan negara — ini membentuk watak perjuangan sejati,” tandasnya.

Sambutan dari masyarakat Pulau Kera pun sangat positif. Sejak hari pertama, para aktivis diterima dengan antusiasme yang tinggi. Anak-anak menyambut dengan gembira, sementara para orang tua menyatakan dukungan penuh atas kegiatan yang mereka anggap membawa semangat baru di tengah keterbatasan.

Bapak Hamdan, salah satu tokoh masyarakat Pulau Kera, menyampaikan rasa terima kasihnya secara khusus. Ia menyebut kegiatan ini bukan hal biasa, melainkan bentuk pengabdian yang nyata. “Kami sangat berterima kasih kepada adik-adik mahasiswa dan pejuang agraria yang telah datang dan hidup bersama kami. Ini bukan kegiatan seremonial. Mereka tinggal, bekerja, dan makan bersama kami,” ujar Hamdan.

Ia berharap kegiatan semacam ini bisa terus berlanjut dan menjadi contoh bagi berbagai pihak, termasuk pemerintah. “Kehadiran mereka membangkitkan semangat warga, terutama anak-anak yang ingin belajar dan para orang tua yang merasa dihargai,” ucapnya.

Namun di balik optimisme itu, ancaman relokasi masih menghantui. Pulau Kera dihuni mayoritas suku Bajau — masyarakat maritim yang menggantungkan hidup sepenuhnya pada laut. Jika relokasi dipaksakan, maka yang hilang bukan hanya rumah, tetapi juga budaya dan identitas.

FMN dan AGRA secara tegas menyatakan penolakan terhadap relokasi paksa. “Kami, secara keorganisasian, mendukung penuh perjuangan rakyat Pulau Kera dalam mempertahankan ruang hidupnya. Segala bentuk intimidasi dan pendekatan tidak manusiawi dari negara harus dihentikan,” tegas Febri.

Bapak Hamdan pun berharap agar pemerintah tidak lagi mengambil langkah sepihak. Ia menyerukan kepada semua pihak, mulai dari pemerintah kabupaten, provinsi, hingga pusat, untuk membuka ruang dialog yang jujur dan adil. “Mari kita duduk bersama, agar tidak ada kesalahpahaman antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat,” ujar Hamdan.

Ia mengingatkan bahwa bumi, laut, dan udara dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk menyusahkan mereka. “Salam kami untuk Bapak Bupati, Bapak Gubernur, dan Bapak Presiden Prabowo Subianto bersama seluruh jajaran menterinya. Mari kita sama-sama memperjuangkan hak-hak masyarakat agar tidak menjadi korban,” tutup Hamdan. ***