KOLOM

Profil dan Sajak-Sajak Abdul Gani Sastrawan Asal Pulau Adonara

×

Profil dan Sajak-Sajak Abdul Gani Sastrawan Asal Pulau Adonara

Sebarkan artikel ini
Abdul Gani, Sastrawan, Penggagas Literasi Merdeka dan Aktivis dengan Pandangan Marxisme. (Doc. Istimewa)
Abdul Gani, Sastrawan, Penggagas Literasi Merdeka dan Aktivis dengan Pandangan Marxisme. (Doc. Istimewa)

METRUM.ID- Abdul Gani lahir pada 13 Juli 1998 di Waiwerang, Pulau Adonara, Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Dirinya juga diketahui sebagai penggagas literasi merdeka di pulau tersebut.

Abdul Gani duduk di bangku Sekolah Dasar Negeri (SDN) Andayani Waiwerang pada 2006-2012, kemudian masuk ke MTS Negeri Waiwerang tahun 2012-2015, setelah tamat di MTS, ia melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Adonara Timur dan tamat pada 2018.

Setelah tamat di SMANSA Adonara Timur, ia memutuskan untuk mencari ilmu di pulau Jawa. Pertama kali berlayar ke pulau Jawa pada 2018 silam, ia hanya bermodalkan uang Rp 1,2 juta.

Pria kelahiran Adonara itu kemudian mengenyam pendidikan dengan program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra di Universitas Insan Budi Utomo Malang yang sebelumnya adalah IKIP Budi Utomo pada 2018.

Berangkat dari kekurangan, Abdul Gani akhirnya berhasil kembali dengan pandangan literasi yang menjanjikan kreatifitas untuk regenerasi kedepannya, setelah dikukuhkan menjadi sarjana pada 19 Agustus 2023.

Penggagas Literasi merdeka itu, saat ini berkecimpung di organisasi dengan latar belakang; Pecinta Alam, Komunitas Seni, dan juga lama berproses di salah satu gerakan di Kota Malang dengan pandangan Marxisme.

Selama berproses di pulau Jawa, Abdul Gani pegang teguh pada motonya “mendayunglah yang jauh” dan dari prinsip itu ia berhasil kembali dengan padangan Marxisme untuk menyelamatkan banyak manusia.

Berikut Daftar Puisi Abdul Gani

Nyanyian Alam-alam Timur

Demi waktu disetiap bait do’a kami, bahasa tubuh mengamini, dari rahim pesisir hingga pedalaman kosa-kata belum sempat kami teguk, Adat telah lebih dulu mengetuk demi mengheja masa depan ini.

Di relung yang panjang, anak desa berani menghujam belati kota, diksi dan kata-kata terus kami selam melampui karang-karang yang mengumpat, dengarlah dendang ini, dendang anak desa naik podium ” Tanah adat jagalah kami selalu, jagalah kami” ujarnya mengamini segala juang yang membuang waktu mainnya.

Lalu pulanglah kita yang serahim, dari rahim matahati terbenam, dari lubuk yang terdalam setiap tunas ingin tumbuh memperindah tanah airnya, anak Desa yang menyimpan mimpi di setiap atap rumah-rumah ibadah, berjuanglah hingga haru biru mengharumi sejarahmu.

Di kediaman ini, anak-anak sorai melambai, mengingatkanku arti masa kecil, demi segala do’a, salam kini terbayar jua, kita beriring memperjuangkan tanah mahar, dari mahal pendidikan, kesehatan dan upah layak adalah nilai juang kita, tak harus berseteru untuk menjadi petarung, mari rawatlah riwayat pendahulu, titahkan dirimu sebagai pejuang tanpa harus melukai perasaan kita yang sedarah.

Ternyata mimpi dan keinginan kita seirama,
Demi waktu, ku hapuskan dahaga di tanah pusarku, disini generasi mulai taktis memoles arah depan, ketahui sejatinya kita terurai keinginan yang sama, selalu bersama di depan pusara leluhur lalu menghormati dengan menunjukan bahwa kuburan para juang masih tertanam di hati kami, bahwa sejarah mereka menusuk jantung kami, tertancaplah hingga darah penghabisan kelak.

Kini, darah beringas menghujam lalu sumpah serapah seakan kita tak sedarah, para elit yang sekongkol merusak tanah dan adat ini, sadarkah kita bahwa leluhur sedang menyaksikan derita kita, kata-kata tipu daya mereka lalu menghianati kita yang serahim, sadarkah kita bahwa kitalah yang merusak ruang waktu kediaman sendiri.

Demi waktu, Demokrasi telah kita patahkan cintanya, atas nama binasah dan serakah makna Demokrasi tak lagi kita hayati, kita dipecundangi di mimbar yang hambar.

Dengarlah kesaksian ini anak-anak adatku, hal baik pada tanah jangan kita berpaling, ketika tanah adat panggil pulang, ketika kampung mempercayai kita, maka berjuanglah hingga darah dan daging kita di injak-injak, disini rumah kita, sejuta air mata menghiasi kita yang bertanding sebagai orang adat , rekat dan pekat berjuanglah sampai sejarah menceritakan kita.

Sebab sejatinya berjuang ialah mempererat Demokrasi, bukankah wujud dari kata ialah berjuang? Lantas apa yang menjadikan kita berseteru, apakah harus ada yang binasah sesama kita?

Anak muda mendayunglah yang jauh, tetapi jangan lupa pulang berjuang pada tanah adatmu.

Matinya Bangsa Penyair

Dan kita tak tahu apa-apa tentang tahun. Sebelum resolusi kiri menyentuh batas pikiranku, di jam sembilan malam raga ini telah lebih dulu menutup mata, menutup telinga dari siaran televisi, seluruh tubuh dengan sarung, lampu pun dipadamkan sang ibu, tertutuplah mata tanpa lagi melibatkan perasaan.

Di dunia yang kini penuh intrik, larik-larik menyembah komersil, saling sikut menyikut tak luput dari perang bahasa. Tahun baru dan kita tak tahu apa-apa, segenggam bara yang menanti dewasa akhirnya memeras harapan: Revolusi awal ialah keberanian, dan padamu malam kebajikan, yang telah lama mengantarkanku sejauh ini. Bahkan ketika aku jatuh, aku tahu bahwa malam tahun baru bukanlah malam kita meminta untuk dipintal segala harapan yang kita ingin. Revolusi awal ialah berani, terjemahkan keberanianmu dalam situasi apapun, keberanian itu dimulai dari siang-malam menjumpai buku, membaca, meringkas, di ruang diskusi. Dan budaya masa modern kini, kala buku di tanganmu, kita adalah kaum penyendiri yang sering mengutuk waktu, melukai mereka walau dalam keadaan diam, itulah modern kini yang menerjemahkan segalanya dari sisi yang paling buruk, Oscar Wilde dalam keadaan hati terluka mengutuk tulisannya dengan buruk dan itulah sajak yang dengan perasaan paling tulus.

Serupa dengan penyair Investasi Kebudayaan, memulia eksis tanpa memulai apa yang menjadi pernyataan Penyair Sosialisme, “trgadedi kemanusiaan juga dijadikan komersil” dan siapa yang tak marah sajak-sajak pemberani dikudeta oleh penyair-penyair komersil.

Popularisme adalah percakapan yang mereka sembah, sempit gerak adalah sekuntum acuh tak acuh mereka menjual perabot makna sastra dan genggamannya, singkatnya politisi indonesia dibeli dan dibayar dengan uang dan kita tak punya perwakilan di balai dan istana ini, bahkan menyedihkan lagi, kongres-kongres payung mahasiswa oligarki, didanai untuk menjunjung pasal kepalsuan mereka, pasal makar dan segala perampasan.

Dan penyair?
Bukankah diksi dan sajak mengutuk dan melawan dengan syair revolusioner?
Diksi dibawah bisnis
Rima dibawah pemerintah
Sajak akhirnya tak galak
Puisi hanyalah ilusi
Kala prinsip penyair hanyalah tabulase isu komersil pribadi, menuntut setiap sajak yang dilahirnya harus dibayar pengakuan ataupun bayaran!
Bukankah itu budaya mematikan sebuah bangsa penyair?

Tak Terlahir

Aku suka kerudungmu bu, aku mencintainya karena ia teman sekamarku kala kandungan menjaga di malam yang sekam. Aku mencintainya karena ia berani bergerak maju dengan nyanyian luhur yang di pedomannya, terlintaslah ide dengan bisikan yang membidik ikrar yang tak sempat di ulang oleh lisan yang mulai lusuh. Aku mencintainya karena setiap pagi dilafalkannya mantra yang diperentara bara api.

Pada kerudungmu bu, yang menutupi wajahmu bukan matamu, ingin menyaksikan aku terlahir di pangkuan fajar, berdendang di antara tetuah-tetuah yang merebut nama, sedangkan di balik kerudungmu ingin melihat sebait revolusi sembilan-lapan, kerudung yang tak pernah melihat ke belakang, dan dikala ia melakukannya, ada semboyang yang bertamu dalam mimpi, memanggil dan memeluk arti maaf, terlahirlah untuk melihat segala yang tak bermakna. Pada keadilan, kita yang sedang mencari, kendati di satu waktu, anak yang menyukai kerudung tak sempat pulang kala 98 adalah tahun kelahiran orang-orang yang mati dalam berkelana sebuah keadilan.
Bertahanlah,
sebuah ikrar yang mengakar.

Padamu Semesta dan Khidmatnya

Kugenggam bara pada sepucuk pena, penamaan setiap kata yang termaklumat dalam kalimat, menjadikannya kelam sajak-sajak yang lari.

Sajak adalah senjata yang akan meluruskan catur politik yang tak tau arah, sajak adalah senjata yang juga kelak membengkokan niat buruk tangan-tangan pioner, sajak yang merajalela ini, sajak tentang adopsi pikiran tak pada realitanya.

Orang-orang menari dengan pikiran, mencoba fantasi dengan narasi yang tak sekenanya, siapa yang tak marah dan murka, sajak yang adalah perlawanan di jamah mereka untuk meniduri bunga-bunga perawan.

Siapa yang tak geram, sajak yang tentang bau keringat garam di siram mereka dengan merk impor-impor asing, kapal dan peralatan berat menepi lalu menuduh para buruh dengan upah yang tak selayaknya, lalu keluarlah orang-orang yang haus birahi, pada mata mereka menusuk ke pedalaman, merampas dan kekerasan kepada siapa yang menghalangi, peran perempuan yang tak pernah purna di goda lalu dinodai

Kepada khalayak umum, sejauh mana kita khidmat tentang birahi dan politik tirani yang menjadikan kita martir mati sia-sia, sudah jenuhkah atau benar-benar kita melupa persoalan-persoalan yang tetap bersekongkol menindas kita?

Pedalaman negeri ini, tanah-tanah bertutur pada batu dan kayu, bangunlah sebuah aliansi, segera teduh di bawah payung lautan pemberontakan, kita mesti mengikat akar ini, kita mesti sampaikan kepada hewan, bahwa sedang terjadi kegelisahan yang tak sempat dirancang oleh manusia yang berakal, peluk dan menjilat begitu lejitnya mereka sembah.

Padamu semesta, sudah terlalu lama kami diam tertawan, sudah terlalu lama kami digambarkan sebagai penyangga kehidupan mereka, sekujur tubuh yang menjalar ini, sejatinya mampu melilit dan membunuh mereka, tetapi kami masih dipertontonkan sebagai ciptaan tuhan yang lemah, melawan adalah menghakimi kehendak tuhan, sebab itu akal dan budaya perlawanan kami, di gaungkan oleh orang-orang yang pandai menafsir, bahwa alam adalah ibu yang di utus tuhan menyusui segala kepalsuan yang berlaku di bawah payung semesta.

Bapa yang di Istana
Berkati Kami

Estetika kehidupan ialah ketika kita menyalami alam sebagaimana ialah insan kehidupan, dari denyut nadi suku adat pedalaman tergambar jelas kecintaan akan alam yang kian hari di cemari rimbanya.

Rimbun-rimbun pohon mulai redup tatkala teror sensor senggama atas nama pembangunan, tanah-tanah yang mulanya bersahabat di kaki-kaki gunung kini di cemari kimia buatan barat, udara di racuni, masyarakat adat di intimidasi, sejatinya alam yang tak membenci kita tetapi kita selalu saja dengan ketamakan, kerakusan menjadikannya alam tak berdaya di pangkuan ibu dari sekian suku pedalaman. Terpuji bagimu bapa yang di istana.

Mencari siapa yang salah ialah kebuntuan hari ini, dan siapa yang bertanggung jawab adalah pertaruhan yang sampai dengan hari ini masih saling klaim.
Maka itu, aku “Maha Pendidikan” yang menyembah modernisme buatan barat hingga lupa ciptaan tuhan yang kian hari terhegemoni di negeriku sendiri, menaruh tunduk dan meminta maaf atas kelaliman umat yang luput makna alam.
Berkat bagimu  kami.

Dan hari ini, relung waktu yang panjang aku masih saja diam dan bungkam, lalu di pedalaman, hutan adat di rampas hak hidup mereka, khawatir dan menangis masyarakat adat menjadikan ibadah atas perbuatan para bapa di istana.

Sebagaimana mestinya kita tak bisa apa-apa tetapi alam selalu ada untuk kita tanpa kompromi memberi kehidupan. Terpujilah kita yang kian hari mempelajari, merefleksi alam adalah ibu, yang melahirkan kehidupan.

Kami bersama Alam, dialah Ibu.
Bapa yang di istana, maha bijaksanamu menjadikan kami air mata arti hilang kehidupan hutan-hutan adat.

Dibawah Langit Merah Putih

Puing-puing merah darah bersimbah tanpa petunjuk, kaki-kaki yang berkelana di malam hari menyanyikan anak-anak yang hilang, rumah-rumah dibakar, hasil panen yang di injak-injak, hingga sang bapak yang berseteru dengan anak kandungnya

Dibawah langit merah putih
Sejarah yang menjadi marah kemuakkan bangsa yang melupa sejarah, satu persatu dieksekusi, rumah-rumah tahanan penuh darah orang-orang yang mempertahankan hak, harga diri

Perempuan-perempuan yang menjadi ladang perjuangan di kambing hitamkan sebagai perempuan yang tak Nasionalis, keperawanan dan harga diri bukan lagi tabu untuk tanah air ini

Benarkah Agamais seratus persen memperjuangkan kemerdekaan ini?
Ataukah Nasionalis yang mewujudkan kemerdekaan hingga hari ini?

Dibawah langit merah putih
Setengah tiang ini kutundukkan wajah kepada petani, nelayan, buruh, dan seluruh pribumi yang teraniaya, bahwa komunismelah kami sadar akan ketertindasan ini

September Hitam untuk bangsa yang menggelapkan sejarah.

Bayang-bayang Tirani

Jatuhlah di wajah yang berlumur darah, umur yang sepenggal ini menabur ketakutan kala senjakala di tendangnya hingga terbujur pada kematian yang teramat jujur

Kufurlah mereka dengan tangan dirantainya sejarah, darah-darah 98 di taman kota, di trotoar, hingga kisah laut bercerita menjadikan trauma yang perlahan harus juga di unjuk rasa

Kami memperkasai diri menolak lupa, diktator yang hadir dibayang-bayang pertiwi,
redahkah kemarahan kita?

Gerimis september hitam, ternyata membanjiri lautan massa, payung dan keranda buatan duka mempersunting mawar yang tak lagi mewangi, adakah kita kalah di tengah bayang-bayang berhala?

Melintaslah kata-kata, dari  tragedi-tragedi lalu menghadirkan sesosok yang mengintai dari bilik suara, kata bahaya untuk kita yang sebaya, perlahan dikuburnya juga dalam lautan, di bungkam, bahkan dikuburi hidup-hidup.

Bayang-bayang di akhir puisi ini, menuntut kawan bertahanlah dalam senyap, kala kemarahan menggugat, bacalah dengan menyebut nama cintamu, di bawah payung revolusi, kami menggulingimu seperti lautan sejarah soviet, kala merobohkan sebuah tirani.

Siapa yang Menjaga Kita?

Menuahlah yang mulia, ketika sajak memulai, haning di bawah pijakan kita menuntun tapal yang tak terbatas, semilir alir kata lincah menuntun, kepada kata yang bersumpah, menuntut setiap yang luka, kepada kata yang terbuka mengoyak setiap insan yang kelam, kapada cinta yang bertepi, ekosistemmu adalah sumbuh yang melintir disetiap tiang pelita, memberi ruang untuk cahaya, memberi sumbu untuk membara.

Kau tak akan mati, melintaslah tanpa melukai, mulailah tanpa keraguan.
Maka siapa yang menjaga kita?
Tanyamu dalam keheningan, dengarlah kata-kata pada pohon, tanah, akar, savana, udara, alir air, dan yang bernyawa disekitarmu adalah rahim yang menemanimu dalam pelipulara cintamu.

Kau harus cinta, maka masuklah kerumah hutan temui curhatan yang mengadu isi dada, dengarlah, perlahan-lahan, pejamkan cinta di setiap yang bernyawa di sekitarmu.

Masuklah kedalam rumah hutan, temukan dirimu dan diri mereka, dan dengarlah semilir sajak yang menghembus di tengah-tengah pongah kita yang selalu mengeluh.
Masuklah kerumah hutan, temui mereka yang terluka.

Cahwala

Disitulah sang ibunda terbit di ufuk timur memancarkan cahaya nan emas di atas tanah maluku utara, sejarahnya menjadikan tanah ini prahara penuh darah.

Cahaya wangi pala, abad-abad yang kandas, Eropa seumpama lelaki perebut, kapal-kapal perompak merampas dan menghilangkan ayah-ibu kami.

Dari sultan Tabarizi, Khairun hingga Ayatullah Babullah, pala adalah penanda sejarah dunia, penemuan dan penjelajahan adalah tapak tilas kemasyuharan tanah Maluku.

Palah tumbuh yang menjumpai kelam, kalam di malam purnama, termenunglah para petani menanti kabar baik, harga yang menindas atau panen yang celaka adalah air mata yang di sembunyikan orang tetua terhadap kami.

Ketika Maluku di ambang tambang atau kisah pala yang pilu, seonggok barah martir terlahir menciptakan percikan dengan teriakkan-teriakkannya
“Jang ambe tong pe pala”
” jang sembarang gusur leluhur pe belulang”

Untuk kami yang di besarkan dari air mata pala, di lubuk kami tak sempat lagi mengingat lelah orang tatua, modernisme buatan barat menjadikan kami sebagian diam dan bungkam di kala orang tatua berdoa harga pala yang berpihak

Dan dari tangan dan suara siapakah kegelisahan mereka kita tumpaskan?
Sedangkan sebagian kita yang terpelajar memilih menjilat lalu melejit bersama penguasa yang memainkan harga serampangan, sudahkah kita lupa bahwa kesejahteraan petani ada di tangan-tangan pemberani bukan di janjinya para tirani

Sebab saban hari janji kemajuan tidak pernah singgah di halaman hati kami,
mata hanya menyaksikan petani yang di lilit tuntutan Anak-anaknya.

Cahwala
Cahaya Wangi Pala
Dari timur indonesia menolak lupa
Kemerdekaan untuk mereka penguasa
Ketertindasan adalah kita Petani Pala

Selamat merdeka Indonesia
Ibu pertiwi gagah di atas kota Nusantara
Petani pala mengangkat merah putih di ambang kata Sejahtera.

Sekali lagi,
Alif berdiri sendiri,
jangan bikin kami angkat kaki.

Punggung Puisi

Cinta ialah legenda sepanjang masa, di lengan-lengan tabah sesosok ibu seumpama musafir damai bersama nafkah, terimakasih bu.

Bara pada perapian menyala melalui hembusan angin, walaupun dahaga pada kerontang menyesakkan di antara debu-debu semen di gudang peraduan. Disitulah punggung bapak menafkah.

Dari dendam anak setangkai yang menyangga masa depan, terlalu dini terpaut kesepakatan mangkrak orang-orang dalam, usia dini menjadikanku Amorfati perlahan tabah pada jenjang dewasa.

Usia yang tabah terkubur di antara reruntuhan, Anumertalah orang-orang di hormati, jangan menanti masa depanku seperti itu mak, sebab saban hari anak dari seorang ibu cuci harian di tolak beradab di negeri yang biadab ini.

Usia, terbaktilah kita yang kelak jua usai, dsinilah di lubukku terketuk arti balas cinta, terbaktilah harapan yang kadang kala berputus asa.

Kelahiran, dari lengan dan punggung sepasang sosok kasih, terkuburlah cintaku di hati masing-masing kalian.

Cinta, terimakasihku atas nafkah dan dedikasi yang tak pernah pusai.