Banyak orang berkata, “Aku mencintaimu,” tapi di balik ucapan itu, perlakuan yang diberikan justru menyakiti. Cinta berubah menjadi tuntutan, kendali, bahkan luka. Maka timbul pertanyaan yang patut kita renungkan: Apakah itu benar-benar cinta
Erich Fromm, seorang psikoanalis dan filsuf Jerman, mengajak kita merenungkan ulang makna cinta. Baginya, cinta bukanlah sekadar perasaan yang datang tiba-tiba atau reaksi emosional belaka. Cinta adalah seni. Sesuatu yang harus dipelajari, dipraktikkan, dan dijaga.
Cinta Bukan Menguasai, Tapi Menghormati
Salah satu kesalahan paling umum dalam relasi adalah ketika cinta berubah menjadi bentuk dominasi. Ketakutan akan kehilangan membuat seseorang ingin menguasai pasangannya. Ia menjadi cemburu berlebihan, posesif, dan menuntut agar pasangannya hanya memperhatikannya saja.
Namun Fromm menekankan bahwa cinta sejati tidak lahir dari rasa takut. Justru, cinta tumbuh dari rasa saling menghormati. Menghormati berarti mengakui bahwa pasangan kita adalah pribadi yang utuh—dengan kebebasan, keinginan, impian, dan batas-batasnya sendiri.
Cinta yang dewasa tidak menuntut agar seseorang berubah menjadi seperti yang kita inginkan. Sebaliknya, cinta yang sejati memberi ruang bagi orang yang kita cintai untuk tetap menjadi dirinya sendiri, dan bahkan bertumbuh lebih utuh karenanya.
Cinta Adalah Memberi, Bukan Mengorbankan
Banyak yang menganggap mencintai berarti berkorban. Tapi pengorbanan yang tidak sehat justru menandakan adanya ketidakseimbangan. Fromm menekankan bahwa cinta bukan soal mengorbankan diri, melainkan memberi dari kekayaan batin yang kita miliki.
Memberi dalam cinta bukan sekadar materi. Yang paling berharga adalah ketika kita memberi perhatian, pemahaman, kebahagiaan, dan pengetahuan—tanpa pamrih.
Cinta yang matang adalah cinta yang aktif. Dua insan yang saling mendukung dan menguatkan. Bukan cinta yang membuat salah satu pihak bergantung sepenuhnya kepada yang lain. Dalam cinta seperti ini, tidak ada superior dan inferior. Yang ada hanyalah ketersalingan: saling ingin membahagiakan dengan tulus, saling memberi ruang untuk tumbuh bersama.
Cinta Sejati Dimulai dari Mencintai Diri Sendiri
Satu hal penting yang sering dilupakan: kita tidak bisa mencintai orang lain jika belum bisa mencintai diri sendiri. Namun Fromm menekankan bahwa mencintai diri bukan berarti menjadi egois atau narsistik. Mencintai diri sendiri secara sehat adalah mengenali nilai diri, menjaga diri, dan bertanggung jawab terhadap hidup yang kita jalani.
Kita mencintai diri dengan merawat integritas, dengan jujur pada perasaan dan kebutuhan sendiri, dengan memperlakukan diri sebagaimana kita ingin diperlakukan.
Hanya orang yang utuh secara emosional dan batin yang mampu mencintai secara sehat. Karena ia tidak mencari pelarian dalam cinta, tidak menggantungkan kebahagiaan pada pasangannya, dan tidak mencinta karena kekosongan, tapi karena kelimpahan.
Mencintai adalah proses yang tak pernah selesai. Cinta bukan perasaan yang datang sekali lalu selesai. Ia perlu dipelajari, dipahami, dan dipelihara terus-menerus.
Fromm mengajak kita untuk mencintai dengan sadar—dengan menghormati, memberi, dan tidak melupakan cinta pada diri sendiri.
Karena hanya dengan itulah cinta bisa tumbuh subur: dalam ruang yang memberi kebebasan, saling memahami, dan saling menguatkan












