Oleh: Yohanes Patrick, S. H.
Alumni Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana
METRUM.ID – Tombo Turuk adalah salah satu bentuk dari kekayaan sastra khususnya sastra lisan masyarakat Manggrai. Tombo Turuk, bisa diartikan sebagai, cerita rakyat, dongeng, hikayat (Yohanes S. Lon, dkk 2018). Berbicara mengenai Tombo Turuk, mungkin akan menggiring ingatan kita untuk kembali ke masa kecil saat kedua orang tua kita menuturkan cerita yang selalu membangkitkan imajinasi dan kemudian membawa kita ke alam mimpi.
Biasanya yang menjadi cerita andalan adalah cerita Si Pondik dengan beragam versi atau kisah Rueng Rana yang digambarkan sebagai seorang darat (bidadari) anggun nan cantik yang di persunting seorang Raja dari Manggarai.
Tombo turuk dituturkan oleh orang tua baik untuk tujuan praktis seperti pengantar tidur anaknya, sebagai sarana hiburan maupun sebagai media penyebaran pengetahuan tentang sejarah, adat kebudayaan termasuk menanamkan nila-nilai moral pada anak-anak.
Penuturan dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami, penuh kiasan, dan ringan membuat orang yang mendengarkan akan menikmati setiap kata yang diucapkan sang penutur yang kemudian membuat pesan dari cerita tersebut lebih mudah tersampaikan.
Tombo turuk bukanlah sekedar cerita biasa tetapi juga sarana untuk memperkenalkan aspek-aspek penting seperti aspek sosial, historis, religius-magis dan budaya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Manggarai. Cerita-cerita dalam tombo turuk sering menggambarkan bagaiman relasi antara masyarakat Manggarai baik dengan sesama, dengan alam, dengan leluhur dan juga dengan sang pencipta atau Mori jari dedek.
Kekayaan sastra Manggarai, menegaskan bagaimana imajinasi dan kreativitas untuk mengemas pesan, nilai-nilai moral dan budaya dalam bentuk yang lebih mudah diterima dan dicerna terutama oleh anak-anak.
Nilai-nilai moral, sosial, religius ataupun kebudayaan yang terdapat dalam tombo turuk menghendaki agar kita selalu menjalani kehidupan yang seirama, sejalan dan setujuan, dalam semua siklus hidup kita orang Manggarai, baik Mbaru Bate Kaeng, Uma Bate Duat, Wae Bate Tegku, Natas Bate Labar dan Compang.
Disinilah kita melihat bagaimana peran tombo turuk dalam membentuk karakter seseorang baik yang bertujuan untuk menjaga hubungannya dengan sesama, alam, leluhur dan sang pencipta yang berlandaskan pada adat atau kebudayaan. Dalam konteks yang lebih luas, sebagai bangsa yang berbudaya kita selalu diarahkan untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan yang sudah mengakar dalam tradisi masyarakat kita.
Nilai-nilai moral dan kebudayaan yang di bungkus dengan begitu rapi dalam tombo turuk tentu saja harus dilihat sebagai peluang sekaligus strategi untuk membentuk generasi muda Manggarai yang bermoral dan berkebudayaan.
Dalam tulisan ini, akan diuraikan bagaimana tombo turuk dapat menjadi sarana untuk mendukung pembentukan karakter seorang anak.
Pembentukan Karakter Anak
Karakter seseorang bukan hanya sesuatu yang terberi sejak lahir, tetapi juga diperoleh melalui interaksi di lingkungan sosialnya. Dalam interaksi tersebut ada proses pemberian dan penerimaan nilai dan norma sosial. Proses penanaman nilai dan norma pada masyarakat inilah yang disebut sosialisasi.
Peter L. Berger mengartikan sosialisasi sebagai proses belajar seorang anak untuk menjadi anggota yang berpartisipasi di masyarakat. Hal yang dipelajari seperti peranan, nilai dan norma sosial.
Dengan perkataan lain, sosialisasi juga diartikan sebagai proses belajar yang dilakukan seseorang untuk mengenali dan menghayati kebudayaannya dengan cara mempelajari nilai dan norma yang terdapat di lingkungannya, sehingga dia dapat menentukan peranannya dalam lingkungan tersebut.
Dalam proses sosialisasi, anak mulai belajar dan menerima nilai dan norma kolektif dari lingkungan tempatnya berinteraksi. Proses sosialisasi ini harus mendapat perhatian serius baik dari keluarga sebagai kelompok sosial primer maupun lingkungan sosial sekundernya. Dalam proses sosialisasi ini akan banyak hal yang diserap dari lingkungannya, bukan hanya hal-hal positif tapi juga hal-hal yang mengarah pada sesuatu yang destruktif.
Perilaku-perilaku individualisme, gaya hidup hedon, primordialisme, etnosentrisme, dan perilaku konsumtif sering kali diterima anak-anak dalam proses sosialisasi yang kemudian mendegradasi nilai-nilai moral kebudayaan. Hal ini harus menjadi perhatian serius semua orang, mengingat peran anak dalam keberlangsungan suatu Negara.
Penanaman nilai dan norma yang berlandaskan pada kebudayaan haruslah dengan pendekatan yang lebih mudah diterima anak-anak. Seringkali cara represif kita jadikan andalan untuk mendidik anak, dengan alasan supaya anak lebih taat. Sadar atau tidak pendekatan seperti ini justru membuat anak takut, menjauh dari orang tua, sulit berkembang sehingga tidak heran apa yang diajarkan orang tua dengan pendekatan represif seperti itu tidak bertahan lama dan berdampak negatif.
Sadar atau tidak, saat ini banyak anak dengan mudah menghafal dan melafalkan dialog-dialog dalam serial-serial kartun, sebut saja film kartun asal Malaysia Upin-Ipin.
Dalam salah satu episode misalnya, mereka belajar menghafal alfabet dalam bahasa Inggris dan bahasa melayu Malaysia, dan yang terjadi kemudian adalah anak-anak yang menonton kartun ini, dalam waktu singkat menghafal dan melafalkannya dalam bahasa Inggris dan dialog bahasa melayu Malaysia bahkan sebelum mereka mengenal bahasa Indonesia.
Bandingkan Ketika seorang anak ditugaskan gurunya menghafal perkalian atau membaca di sekolah , butuh cukup lama untuk anak tersebut bisa, itu pun dengan catatan kalau dia tekun belajar.
Tombo turuk menjadi media yang tepat untuk menanamkan nilai dan norma sosial yang berlandaskan kebudayaan kepada anak-anak. Media seperti ini harus dilihat sebagai peluang dalam rangka membentuk karakter anak. Melalui Tombo turuk, pesan dan informasi di kemas secara menarik, dalam kemasan tokoh-tokoh dan latar cerita sehingga akan lebih mudah diserap dan dicerna anak-anak.
Sayudi menjelaskan, menurut para Psikolog, masa kanak-kanak adalah masa yang penuh dengan imajinasi. Anak-anak mempunyai imajinasi yang lebih beragam dari orang dewasa. Anak juga memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Oleh karena itu, orang tua perlu melatih kemampuan fisik dan kemampuan berpikir anak termasuk mengembangkan imajinasi. Disinilah tombo turuk dapat menjadi sarana untuk merangsang rasa ingin tau dan imajinasi itu.
Tombo turuk mampu membangkitkan imajinasi anak, membuat anak lebih peka terhadap situasi sekaligus membantu anak untuk melatih sikap kritis dan kemampuannya mengambil keputusan. Misalnya saja dengan mengajak anak mengeksplorasi karakter-karakter pada tokoh dalam tombo turuk, dan kemudia mengajak dia untuk menilai karakter-karakter tersebut. Disinilah rasa ingin tahu dan kemampuan meniru anak di rangsang sehingga menjadi suatu sikap yang permanen seperti dengan mencontohi karakter protagonist dan menghindari perilaku karakter antagonis.
Sekarang
Dewasa ini kebiasaan ber-tombo turuk sudah jarang dilakukan oleh orang tua, sebabnya jelas yakni banyaknya media-media pembelajaran lain yang dianggap lebih menarik. Tetapi apakah benar banyak media pembelajaran yang menarik saat Ini? Mari kita sejenak melihat dua kenyataan yang terjadi sekarang.
Pertama, Pemerintah tidak menyiapkan dengan baik media pembelajaran berbasis digital termasuk memproduksi konten-konten pembelajaran berbasis pengembangan karakter anak, malah banyak film-film kartun dari luar negeri yang menguasai berbagai stasiun TV lokal sehingga anak-anak lebih mengetahui dan paham budaya luar ketimbang budaya sendiri, serial-serial itu pun cenderung tidak mendidik dan lebih menonjolkan sisi entertainment ketimbang sebagai media belajar.
Kedua, produksi film, FTV dan acara-acara TV lainnya yang tidak mendidik dan seharusnya ditonton orang dewasa, saat ini malah di konsumsi anak-anak, yang pada akhirnya mempengaruhi psikologi dan cara pandang mereka terhadap realitas dan membuat mereka menjadi dewasa sebelum waktunya dengan melewatkan masa anak-anak mereka.
Perlu upaya dari berbagai stakeholder untuk menciptakan lingkungan yang kondusif agar kebiasaan ber-tombo turuk kembali mendapatkan tempat di hati orang Manggarai.
Jalan Keluar
Dari sisi regulasi, Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, menghendaki agar pendidikan difungsikan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pemerintah baik pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah perlu merumuskan regulasi yang memungkinkan strategi pembelajaran berbasis kekayaan budaya setempat seperti tombo turuk masuk dalam kurikulum pembelajaran. Selain itu, untuk mendukung regulasi ini, pemerintah juga perlu mempersiapkan sarana dan prasaran yang memadai seperti buku-buku yang berisi cerita-cerita anak yang bersumber dari cerita masyarakat setempat, bukan malah menyamaratakan cerita-cerita tersebut di seluruh daerah, karena selain sebagai media pembentukan karakter melalui penanaman nilai dan norma kepada anak, cerita-cerita yang berbasis pada kisah masyarakat setempat juga sekaligus menjaga agar budaya dan adat istiadat tetap terawat baik dalam ingatan.
Selain itu dalam lingkup keluarga, kebiasaan-kebiasaan bertutur seperti tombo turuk perlu untuk dijaga dan dibiasakan. Kebiasaan seperti ini, pertama-tama untuk menjalankan fungsi keluarga sebagai kelompok sosial primer yakni sebagai tempat pertama anak memperoleh pemahaman tentang nilai-nilai, yang berikut kebiasaan ber-tombo turuk juga akan mengakrabkan relasi antara anak dan orang tua.
Pemerintah Desa, melalui politik dan kebijakan anggaran yang tepat dapat secara periodik memasukan lomba tombo turuk dalam agenda tahunan desa dan/atau melalui anggaran desa dapat melakukan pembinaan secara intensif melalui kelompok anak sehingga nantinya, anak-anak yang didampingi ini akan menjadi penutur sebaya.