HUKUM

Adukan Kasus Kejahatan Lingkungan ke Kejagung: Walhi NTT Desak Penghentian Eksploitasi dan Usut Dugaan Korupsi

×

Adukan Kasus Kejahatan Lingkungan ke Kejagung: Walhi NTT Desak Penghentian Eksploitasi dan Usut Dugaan Korupsi

Sebarkan artikel ini
Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi berpose saat menyerahkan pengaduan ke perwakilan Kejagung pada 8 Maret. Foto: Walhi Nasional.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi berpose saat menyerahkan pengaduan ke perwakilan Kejagung pada 8 Maret. Foto: Walhi Nasional.

Dalam pengaduan itu, terdapat 47 kasus yang dilaporkan dari berbagai daerah di Indonesia, terutama di NTT

METRUM.IDWahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali menyoroti krisis lingkungan yang semakin parah di Nusa Tenggara Timur.

Enam kasus dugaan kejahatan lingkungan itu telah diajukan ke Kejaksaan Agung sebagai bagian dari gerakan perlindungan lingkungan yang juga turut dikawal oleh Walhi nasional

Dalam pengaduan itu, terdapat  47 kasus yang dilaporkan dari berbagai daerah di Indonesia terutama di NTT.

Kajian Walhi menunjukan berbagai kasus kejahatan lingkungan yang melibatkan perusahaan tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga diduga berhubungan dengan praktik korupsi yang merugikan negara. 

Aktivitas ilegal seperti pembukaan lahan tanpa izin, pencemaran air dan tanah, serta eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan telah menyebabkan degradasi lingkungan yang parah. 

Selain dampak ekologis, praktik korupsi yang menyertainya, seperti suap dalam penerbitan izin usaha dan penghindaran pajak, membuat negara kehilangan potensi pendapatan dari sektor sumber daya alam. Tak hanya itu, biaya pemulihan akibat kerusakan lingkungan juga menjadi beban negara, sementara masyarakat yang terdampak kehilangan sumber mata pencaharian. 

Salah satu kasus yang mencuat adalah dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PT. Muria Sumba Manis (MSM) di Sumba Timur. Perusahaan ini dituding beroperasi tanpa izin lingkungan yang sah, mengabaikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan melakukan penggusuran terhadap lahan hutan primer, sawah, serta tempat-tempat sakral masyarakat adat Umalulu dan Rindi. 

Keberadaan perusahaan ini dinilai lebih banyak membawa kerugian dibanding manfaat bagi masyarakat setempat.

Masalah lingkungan lain yang disoroti adalah dampak buruk dari tiga Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di NTT, yakni PLTU Bolok dan PLTU Lifuleo di Kabupaten Kupang serta PLTU Ropa di Kabupaten Ende. 

Deputi Walhi NTT, Yuvensius Stefanus Nonga, mengungkap bahwa limbah dari PLTU ini telah mencemari laut, merusak habitat biota laut, dan menghancurkan mata pencaharian petani rumput laut serta nelayan. 

“Sejak beroperasinya PLTU ini, hasil panen rumput laut menurun drastis, sementara nelayan mengeluhkan semakin sulitnya mendapatkan ikan,” katanya.

Tidak hanya itu, kata Yuven, pihaknya juga mengecam proyek geothermal Pocoleok di Kabupaten Manggarai yang dipaksakan tanpa mempertimbangkan dampak ekologisnya. 

Proyek ini dianggap lebih banyak membawa risiko ketimbang manfaat, dengan ancaman kerusakan hutan dan hilangnya lahan pertanian warga.

Sementara itu, kasus illegal logging kayu sonokeling di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) tetap menjadi momok yang tak kunjung usai. 

Meski beberapa perusahaan pelaku pembalakan liar sempat dibekukan pada 2018, aktivitas ini terus berlangsung sebagai akibat dari lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Bahkan, kayu hasil ilegal logging yang telah diamankan dilaporkan sering kali menghilang tanpa jejak dari tempat penyimpanan.

Pertambangan mangan di NTT juga menjadi sorotan utama dalam pengaduan itu.

Beberapa perusahaan tambang, termasuk PT Istindo Mitra Perdana (IMP), disebut melakukan eksploitasi secara tidak bertanggung jawab. Sejak beroperasi pada 2009 hingga 2017, PT IMP meninggalkan bekas tambang tanpa reklamasi, mengabaikan dampak jangka panjang bagi lingkungan dan masyarakat. 

Sementara itu, persoalan lain yang diangkat berupa penerbitan izin tambang yang tidak transparan, dengan luas konsesi mencapai lebih dari 10.000 hektare, termasuk di kawasan hutan lindung.

Terakhir, ia juga mengatakan bahwa, “Walhi NTT turut melaporkan perusakan hutan adat Besipae serta dugaan korupsi dalam proyek peternakan yang telah berlangsung sejak 1987.” Alih-alih memberikan manfaat bagi masyarakat, Yuven berkata” proyek ini justru menyebabkan degradasi lingkungan, kekeringan, dan hilangnya mata air yang menjadi sumber kehidupan warga.”

“Melalui pengaduan ini, Walhi NTT menuntut Kejaksaan Agung untuk segera bertindak tegas,” katanya.

“Kejahatan lingkungan yang dibiarkan berlarut-larut hanya akan memperburuk kondisi ekologi dan sosial di NTT. Kami mendesak penegakan hukum yang adil dan transparan demi keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat,” tambahnya.

Dengan semakin banyaknya laporan terkait kejahatan lingkungan di berbagai daerah, ia berharap ada langkah konkret dari penegak hukum untuk menghentikan eksploitasi sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab serta mengusut tuntas dugaan praktik korupsi yang melibatkan oknum pemerintah dan perusahaan.