METRUM.ID – Diskusi bertajuk “Wacana Pemilihan Kepala Daerah Melalui DPRD: Cerminan Kehendak Rakyat atau Kehendak Elit” berlangsung intens di Warung Pojok, Penfui Kupang, Sabtu (22/12/2024).
Kegiatan ini dipelopori oleh Ikatan Mahasiswa Hukum Manggarai-Undana dengan menghadirkan Ernestus Holivil, S.Fil., MPA, dosen Administrasi Publik FISIP Undana, sebagai pemateri utama.
Tema ini muncul sebagai respons terhadap pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya pada HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul Internasional Convention Center (SICC), Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, Kamis (12/12/2024). Dalam pidatonya, Prabowo melempar usulan pemilihan kepala daerah (pilkada) dipilih oleh Anggota DPRD.
Ernestus memulai diksusi dengan mengkritisi wacana ini sebagai langkah mundur dalam praktik demokrasi di Indonesia.
“Jika wacana ini ditindaklanjuti menjadi undang-undang, maka ini merupakan bukti nyata kemunduran demokrasi Indonesia. Pilkada langsung, meskipun tidak sempurna, telah memberikan ruang kepada rakyat untuk menentukan pemimpin mereka. Jika dikembalikan ke DPRD, kepala daerah tidak lagi menjadi Publik Servis, melainkan menjadi pelayan para elit,” tegas Ernestus.
Pernyataan Prabowo yang menyebutkan bahwa pilkada langsung menimbulkan biaya politik tinggi dan potensi korupsi dinilai Ernestus hanya sebagai alasan semata.
“Masalah biaya politik bukanlah alasan kuat dan urgent untuk mengganti pilkada langsung. Solusi yang seharusnya adalah mereformasi sistem politik agar lebih transparan dan akuntabel, bukan mengembalikan kekuasaan kepada segelintir elit DPRD,” paparnya.
Dalam sesi tanya jawab, salah seorang peserta menanyakan apakah wacana ini murni ide dari Prabowo atau ada kepentingan lain di baliknya. Ernestus dengan lugas menyatakan bahwa wacana ini tidak lepas dari pengaruh oligarki.
“Saya tidak tahu bagaimana kerja di dapur pemerintah. Namun, saya yakin ini bukan kehendak otentik dari Prabowo sendiri, melainkan bisikan dari kroni-kroni oligarkinya,” ungkapnya.
Ernestus menambahkan, jika pilkada dilakukan melalui DPRD, maka peluang intervensi elite semakin besar. Para calon kepala daerah akan lebih banyak melakukan lobi politik kepada anggota DPRD yang menjadi “pemilih” mereka, bukan lagi kepada rakyat.
“Dalam skenario ini, rakyat hanya menjadi penonton. Pilkada bukan lagi representasi kehendak rakyat, tetapi transaksi politik di meja para elit,” tambahnya.
Diskusi yang dihadiri oleh mahasiswa dari berbagai jurusan dan latar belakang berbeda ini, menyoroti kekhawatiran akan semakin tergerusnya demokrasi Indonesia.
Pilkada langsung selama ini dianggap menjadi simbol partisipasi rakyat dalam menentukan masa depan daerah mereka. Ernestus menutup diskusi dengan menyerukan agar masyarakat terus mengawal wacana ini.
“Jangan biarkan demokrasi kita direnggut oleh segelintir orang yang ingin memperkaya dirinya sendiri. Demokrasi adalah milik rakyat, bukan milik elit,” pungkasnya.
Acara ini mendapat apresiasi dari peserta yang berharap agar diskusi-diskusi seperti ini terus digelar untuk menyadarkan masyarakat akan isu-isu politik yang berpotensi melemahkan posisi rakyat dalam demokrasi.