METRUM.ID – Kota Tasikmalaya selama ini dikenal sebagai kota religius. Namun di balik label tersebut, realitas perempuan di kota santri ini justru masih dibayangi oleh berbagai persoalan serius.
Maisya Salsabila, Ketua KOPRI Komisariat IAIT Tasikmalaya menyoroti bahwa perlindungan dan pemberdayaan perempuan di Kota Tasikmalaya belum menjadi prioritas nyata dalam kebijakan publik.
Kekerasan Terhadap Perempuan: Luka yang Terus Berulang
“Di tengah klaim sebagai kota santri, angka kekerasan terhadap perempuan masih tinggi. Korban seringkali tidak mendapatkan keadilan yang seharusnya, bahkan terkadang dibungkam oleh budaya victim blaming yang masih mengakar,” kata Maisya.
Laporan data dari berbagai lembaga pemerhati perempuan di Kota Tasikmalaya menunjukkan peningkatan kekerasan seksual dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Namun respons pemerintah dianggap masih lamban dan tidak proaktif.
“Kami meminta agar Pemkot Tasikmalaya tidak hanya mengutamakan pencitraan religius, tapi benar-benar memastikan bahwa perempuan merasa aman di ruang publik maupun domestik,” tegasnya.
Minimnya Representasi dan Ruang Partisipasi Perempuan
“Kami juga mencatat bahwa ruang partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan masih sangat sempit. Di DPRD Kota Tasikmalaya, representasi perempuan belum mencerminkan semangat kesetaraan yang diamanatkan undang-undang,” jelasnya.
Dia melanjutkan, perempuan semestinya harus lebih banyak dilibatkan dalam Musrenbang dan perumusan kebijakan, terutama yang berkaitan dengan perlindungan sosial dan ekonomi.
Pemberdayaan Ekonomi Perempuan Masih Setengah Hati
Perempuan pelaku UMKM di Kota Tasikmalaya masih banyak menghadapi keterbatasan akses permodalan dan pendampingan usaha. Program pemberdayaan yang ada dinilai belum menjangkau kelompok perempuan akar rumput.
“Jangan jadikan program pemberdayaan hanya seremonial. Pemerintah harus hadir, memberikan solusi konkret, dari akses modal sampai pelatihan yang berkelanjutan, agar perempuan Tasikmalaya bisa mandiri secara ekonomi,” tuturnya.
Perkawinan Anak: Ancaman Masa Depan Perempuan
Kota Tasikmalaya juga masih dihadapkan pada persoalan tingginya angka perkawinan di usia anak yang mengorbankan masa depan perempuan muda.
“Perkawinan usia anak adalah bentuk kekerasan struktural yang merampas hak pendidikan dan kesehatan anak perempuan. Negara harus hadir, bukan sekadar menghimbau, tapi bertindak tegas,” ujarnya.
“Kota yang religius tidak hanya diukur dari seberapa tinggi menara masjidnya, tapi juga dari seberapa aman, adil, dan bermartabat perempuan di dalamnya. Kami mahasiswa PMII siap menjadi mitra kritis dan moral force bagi Pemkot Tasikmalaya untuk memastikan perempuan tidak lagi menjadi korban, tapi pemilik penuh hak atas masa depan mereka,” tukas Maisya.